Jumat, 25 April 2014

ISLAM ADUK-ADUKAN/KADZABA (Transmisi Falsafah Yunani ke dalam Islam)

Di samping mengembangkan ilmu-ilmu agama, seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Ilmu Kalam, umat Islam sebagaimana terlihat dalam sejarah, juga mengembangkan Filsafat Islam. Melalui kajian filsafat ini, berbagai masalah yang berisikan gagasan, pemikiran, renungan secara mendalam tentang berbagai hal yang terdapat dalam kehidupan ini dapat ditemukan.

Melalui filsafat ini umat Islam di samping dapat melaksanakan ajaran yang bersifat formal, ritual, dan lahiriah, juga dapat menangkap pesan-pesan spiritual dan moralitas yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian, umat Islam tidak akan terjebak kepada hal-hal yang bersifat ritualistik, lahiriah, kosong tanpa makna, melainkan juga yang bersifat batiniah dan penuh makna.

Filsafat sendiri telah ada, tepatnya di Yunani, jauh sebelum Islam yang dimurnikan kembali oleh rasul SAW terlahir. Lantas bagaimana proses transmisi falsafah Yunani ke dalam Islam? Tulisan singkat ini akan mengupas sekelumit sejarah terkait hal tersebut. 

Latar belakang

Dalam sejarah agama dan kebudayaan Islam terdapat lima abad yang menyaksikan suatu kegiatan filsafat yang menakjubkan, yakni antara 100-595 tahun Hijriah atau 720-1198 Masehi. Dalam kurun waktu itu para ahli pikir Muslim terbawa untuk memikirkan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama serta terhadap alam dunia dengan bertitik tolak dari daya akal murni. Mereka itu memikirkan kondisi insani pada latar belakang hakikat terakhir serta sampai urat tunggang yang terdalam. Mereka memikirkan masalah zat dan wujud hidup secara kritis dan sistematis. Hasil pemikiran itu dikerjakan untuk menyusun sistem-sistem serasi yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal budi. Alhasil mereka memperoleh hikmah serta menjadi hakim, tegasnya timbullah filsafat dan kaum filsuf.

Dalam kerja pikir mereka ditemukan dua pendekatan berlainan terhadap iman dan agama. Terdapat alim ulama yang menggunakan metode rasionil untuk menyelesaikan soal-soal iman. Mereka terbagi dalam dua kelompok yaitu Mu’tazilah dan Mutakallimun. Sebaliknya muncullah para failasuf yang, setelah menyusun sistemnya, berusaha untuk menyesuaikannya kepada tuntutan akidah dan syariat. Kedua golongan melakukan filsafat dalam arti wajar. Hal ini tidak terlepas dari persoalan-persoalan karena di dalamnya terdapat kekaburan besar serta banyak syubhat.

Para ulama atau ahli kalam memanfaatkan filsafat untuk membela rukun iman dan untuk menangkis serangan tehadapnya. Para failasuf mencoba membuktikan bahwaq kesimpulan mereka tidak bertentangan dengan rukun iman, yang mana tidak selalu berhasil baik. Jadi corak dari filsafat ini hanya lahir dan tidak langsung. Karenanya disebut filsafat di dalam Islam dan bukan filsafat Islam semata-mata. Lain halnya dengan ilmu kalam, tauhid dan nubuwwat ataupun ilmu tasawwuf yang mendasarkan penjelasannya langsung pada Qur’an dan Sunnah. Itulah merupakan teologi wajar. Singkatnya: filsafat memakai dalil aqli (rasio), sedang teologi memakai dalil naqli (tradisi).

Muslim, Arab dan Yunani

Menurut intelektual Muslim Ibnu Khaldun dan Ismail Ragi Al-Faruqi, urubah atau kepribadian Arab merupakan infrastruktur mental dari Islam. Walaupun di antara para failasuf Muslim hanya terdapat satu orang Arab asli (Al-Kindi), namun semuanya berpikir dan menulis dalam bahasa Arab. Bahkan sarjana-sarjana Masehi dan Yahudi pun, yang mengikuti salah satu sistem filsafat Islam, menuangkan hasil pikirannya dalam bahasa Arab. Tetapi isi pokok seluruh filsafat itu berasal tradisi pemikiran asing, yaitu Yunani. Dari situlah timbul hubungan antara Muslim, Arab dan Yunani.

Bangsa Arab, selaku cabang dari rumpun semitis (samiya), mempunyai gaya-pikirkhas yang dicerminkan dalam struktur bahasa mereka. Ciri khusus pemikiran menunjukan suatu pengalaman kenyataan tertentu, yaitu pengalaman jadali. Sifat menghadapi kenyataan secara jadali itu disebut dialektis, dualistis atau paralelisme antithesis. Ini bukan dialektik Yunani atau Marxis, melainkan dialektik antara dua wujud pengetahuan yang mutlak berbeda, tapi saling berkaitan. Menurut sikap mental itu selalu ada dua hal yang dipertentangkan, misalnya: Khaliq-makhluq, mu’min-kafir, baqa-fana, wujud-‘adam (tidak ada), ghayb-syuhud, halal-haram, haq-batal, ma’ruf-munkar, wajib-mumkin, dan lain-lain.

Gerak pikiran berkutub dua tanpa pengantara. Kedua kutub berlawanan dinyatakan serentak dan parallel tanpa medium. Sifat jadali itu berkembang dalam kosakata Arab, dalam kata-kata ‘addid’, yaitu sepatah kata dengan dua arti yang berlawanan satu sama lain; misalnya haram yang berarti suci-murni dan cemar-dosa. Pemandangan dunia yang bercorak jadali itu dengan mudah dapat dicocokkan dengan iman akan transendensi (tanzih) dan kekuasaan Allah terhadap manusia yang dhaif dan halik. Dengan mudah juga menerima pandangan dunia diskontinu dan atomistis.

Corak utama dari cara berpikir Yunani adalah sintetis, kontinu dan analogis. Sistem-sistem filsafat Yunani menuju konstruksi hierarkis seluruh kenyataan. Dualitas hal ihwal dijabarkan dari kesatuan. Perbedaan pokok dua keadaan disoroti dari satu sudut. Anatara wujud dan ‘adam diletakkan yang mungkin ada. Antara punya dan tidak punya diakui adanya steresis (privatio), suatu kata yang tidak ada dalam logat Arab. Kesempurnaan sesuatu dapat dipartisipir oleh kurang sempurna secara analogi.

Sedemikian halnya budi Yunani berlainan diametral dari budi Arab. Padahal para filsuf muslim yang memahami bahasa Arab itu bergumul untuk mentransponir metode dan sistem filsafat Yunani dalam kategori berpikir Arab. Hasilnya adakalanya sistem ambivalen atau jalan pikiran yang tidak konsekuen. Hanya sistem atomisme, salah satu produk dari filsafat Yunani yang begitu subur dan pusparagam itu, berhasil berakar dalam ilmu pengetahuan Islam. Dengan tepat L.Gardet dan M. Anawati mendefisinikan filsafat dalam Islam ini sebagai “filsafat yang secara esensil berinspirasi platonis-aristotelis, diungkapkan dalam bahasa Arab dan dipengaruhi oleh Islam.

Hilangnya filsafat dari gelanggang pemikiran Islam tidak berarti bahwa usaha para filsuf itu batal dan sia-sia. Memang mereka gagal dalam menyediakan suatu infrastruktur rasionil bagi ajaran Islam. Akal sebagai sumber independen bagi pengetahuan disingkirkan dari tempatnya dan diganti oleh Quran, hadits, qiyas dan ijma’ sebagai prinsip-prinsip (ushul) pengetahuan sah. Akan tetapi jasa ahli filsafat itu tahan waktu dan bermacam dua. Mereka memperkaya alam filsafat dengan suatu sumbangan orisinil, yang dalam perbandingan antara sistem-sistem sejenis merangsang pikiran segenap filsuf. Selain itu mereka menyampaikan obor filsafat Yunani kepada generasi filsuf penerus. Para cendekiawan Eropa dari abad tengah mengikuti jejak mereka dan, melalui bimbingan mereka, menemukan jalan ke sumber-sumber asli filsafat Yunani. Itulah kemudian diolah untuk membina sintese filsafat skolastik Barat. Dalam pembinaan itu para sarjana filsafat dalam lingkungan Islam merupakan mata rantai yang sungguh berarti.

Lahirnya Filsafat dalam Islam

Antara sungai Nil dan Tigris terbentanglah hillal subur (Fertile Crescent), ruang bumi yang sejak Iskandar Zulkarnaen masuk dalam kawasan kebudayaan hellenis. Corak hellenisme itu antara lain tampak dalam peristiwa urbanisasi dan pembinaan pusat ilmu pengetahuan dan pengajaran. Pusat-pusat terkenal terletak di Harran, Edessa, Yundishapur, Ktesiphon dan Nisibis, di mana karya filsafat dan kedokteran diterjemahkan dalam bahasa Syiria. Unsur hellenis diperkuat setelah Kaisar Yustinianus pada 527 menutup akademi neoplatonis di Athene dan tujuh profesor hijrah ke Ktesiphon. Mereka disambut oleh Kaisar Khaswraw (Chosroes) pada tahun 529 M, lalu tinggal bersama mengajar dua puluh tahun lamanya di istana kerajaan. Lembaga-lembaga lain, di Alexandria, Antiochia, dan Beirut, menyelenggarakan pengajaran filsafat dan ketabiban dalam bahasa Yunani, tetapi kemudian bersama dengan perpustakaan dipusatkan di Harran dan Yundishapur juga. Para pengajar terdiri baik dari orang Serani maupun mereka yang beragama Khalakiah.

Ketika para penghuni jazirah Arab mengikuti derap hizbullah ke daerah hellenis itu, mereka mengalami suatu krisis identitas dalam bidang sosiologis dan agama. Mereka pindah dari hidup mengembara, yang berpola qabilah dan kafilah (tribal commercial nomadism), ke dalam tertib ketat dari kota-kota. Proses urbanisasi yang, mau tak mau, harus diikuti membawa akibat negatif bagi rasa paguyubannya. Mereka direnggut dari dasar hidup asli yang terpendam dalam jiwa Arab. Mereka dahulu membanggakan diri atas hidup penuh tantangan, yang menonjolkan keutamaan jantan (muruah), serba bebas dalam luasnya padang pasir tak terbatas, dengan semangat asabiyah, dengan harapan akan razzia. Sekaranglah mereka dikotak-kotakkan dalam kota-kota tangsi, sebagai anggota organisasi tetap, yang harus taat akan birokrasi otoriter yang membalas jasa dan siasat mereka dengan gaji tetap.

Perubahan mendadak dan menyeluruh itu menggoncangkan keseimbangan mental asli sampai terasa frustasi dan sikap suka memberontak. Semasa pemerintahan khalifah Ali dan Muawiyah (656-680 M) terdapat lebih dari 25 pemberontakan dengan latar belakang ideologis. Tidak puas dengan status-quo mereka mencari haluan atau pegangan baru yang mengijinkan mereka menjadi diri sendiri lagi, suatu keseimbangan sosio-psikologis yang menjamin cara mengada otentik. Orientasi untuk menciptakan suatu alam pikiran baru diambil dari alam sekitar asing, sampai akhirnya mereka menghargai corak hidup baru sebagai kemajuan. Kata kebudayaan dalam bahasa Arab berbunyi: tammadun atau madaniah, yang sebenarnya berarti urbanisasi (dari madinah).

Langkah kedua dalam proses akulturasi ini terdiri dari penguasaan ilmu, itu pun secara sistematis dan radikal sebagai landasan untuk pemahaman hidup dan organisasi masyarakat. Masyarakat itu dalam hal agama bersifat majemuk. Biarlah iman para pendatang kokoh, namun mereka diuji mengenai kadar ilmiahnya. Mutu intelektuil dan sistematis dari agama dan filsafat yang dijumpai lebih tinggi dari buah budi yang diasuh dalam ruang lingkup padang pasir. Sebegitu terasa adanya suatu vakum yang secepat mungkin harus diiisi, agar keyakinan iman mereka jangan diselewengkan oleh alam pikiran kufur.

Maka tersedialah warisan pikiran Yunani yang disangka dapat meningkatkan dan mempertebal haluan pikiran Arab. Dahaga akan kesaktian otak Yunani disalurkan melalui dua jalan yang saling memperkuat. Yang pertama disebut via diffusa yaitu kontak sehari-hari, koeksistensi pergaulan hidup. Hal itu sudah jelas dari sekian banyak data, istilah dan konsep Yunani, Latin dan Syiria yang masuk bahasa Arab. Yang kedua, disebut via eruditorum, yaitu hasrat mencari naskah-naskah Yunani, mengunjungi dan mengundang sarjana Yunani dan berdiskusi dengan mereka.

Sebagai taraf tertinggi dalam proses akulturasi ini, maka di mana-mana didirikan lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan dan perpustakaan Yunani-Arab. Di antara yang paling berpengaruh yakni: Baitul Hikmah yang didirikan oleh khalifah Abdullah Al-Makmun di Baghdad, tahun 833 M; Jamiat Al-Azhar dari khalifah Al-Hakam di Qahira (972 M); Al-Nizamiyah dari Nizam Al-Mulk, Amir Saljuq di Baghdad 1076 M. Selain pusat ilmiah di Kuffah (635 M), Fustat (640 M), Wasith dan Basra (700 M), Samarra (835 M), dan Nishapur (889 M). Sedemikian itu filsafat Yunani berfungsi sebagai daya integrasi masyarakat dalam situasi baru. Setelah organisasi dinilai cukup kuat, filsafat itu diasingkan dari negara diganti ilmu keagamaan.

Aliran-Aliran Filsafat dalam Islam yang Berhubungan dengan Filsafat Yunani

Mu’tazilah, sebuah teologi rasionil yang berkembang di Baghdad dan Basrah mulai abad ke-8. Zaman kejayaannya antara 817-845 M dengan kehidupan kedua sekitar tahun 1000 M. Ahli Mu’tazilah meminjam konsep-konsep Yunani tanpa mengikat diri pada suatu sistem tertentu.

Falsafah pertama, istilah ‘falsafah’ dikhususkan bagi sistem ahli pikir muslim yang bertitik tolak dan bersandarkan pada filsafat hellenis. Falsafah pertama ini berkembang antara 850-1037 M, di daerah timur khalifah Abbasiyah dan berhaluan neoplatonis bercampur dengan mazhab peripatetis (Aristoteles). Empat tokoh besar bersama Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Kalam Asyari (900-1085 M) yang berpusat di Baghdad merupakan suatu sistem teologi yang mempergunakan dalil filsafat Eleatis yang bercorak atomisme. Sistem itu memperoleh monopoli dalam ilmu muslim dan disamakan dengan ahl sunnah wal jamaah atau sunnisme. Tokoh-tokohnya: Al-Asyari, Al-Baqillani, Al-Baghdadi, dan Juwaini. Seorang pengikut sistem ini, yaitu Al-Ghazali, mengakhiri hidup filsafat di kawasan timur khalifah Abbasiyah (1105 M).

Falsafah kedua, berkembang di Spanyol dan di Madrid pada abad ke-12, berhaluan peripatetis. Tokoh-tokohnya yang paling terkenal: Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.

Sumber referensi:
-  JWM. Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1978.
-  Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2011.
-  Unesco, Islam, Filsafat dan Ilmu (judul asli, Islam, Philosophy and science, 1981): Dunia Pustaka Jaya,1984.


Titik Temu Pemikiran Islam dan Hellenisme
Melacak Jejak-Tapak Sejarah Pertemuan Kebudayaan Yunani Vs Islam

Secara Umum:
Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia.
Interaksi itu berlangsung setelah adanya pembebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., di bawah para khalifah.
Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama mengalami Hellenisasi. Lebih dari itu, kecuali Persia, daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban Islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu mengalami Kristenisasi.

Bahkan sebenarnya daerah-daerah Islam sampai sekarang ini, sejak dari Irak di timur sampai ke Spanyol di barat, adalah praktis bekas daerah agama Kristen, termasuk heartlandnya, yaitu Palestina.

Daerah-daerah itu, dibawah kekuasaan pemerintahan orang-orang Muslim, selanjutnya memang mengalami proses Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka waktu yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai.

Satu indikasi yang menarik dari pembebasan-pembebasan (futuhat) yang dilakukan oleh orang-orang Arab-Islam terhadap bangsa-bangsa non-Muslim itu adalah sikap-sikap penuh penghargaan dan pengertian kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk agama-agama) yang mereka kuasai. Hasilnya ialah, seperti dikatakan Halkin sebagai berikut :
“...It is to the credit of the Arabs that although they were the victors militarily and politically, they did not regard the civilization of the vanquished lands with contempt. The riches of Syrian, Persian, and Hindu cultures were no sooner discovered than they were adapted into Arabic. Caliphs, governors, and others patronized scholars who did the work of translation, so that a vast body of non-Islamic learning became accessible in Arabic. During the ninth and tenth centuries, a steady flow of works on Greek medicine, physics, astronomy, mathematics, and philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu mathematics and astronomy poured into Arabic.”
Interaksi intelektual orang-orang Muslim dengan dunia pemikiran Hellenik terutama terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Syria), Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia).

Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan karya-karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan Yunani kuna, yang kelak kemudian didukung dan disponsori oleh para penguasa Muslim.

Gelombang Hellenisme

Gelombang Pertama (tahun 130 H/750 M - tahun 340 H/950 M)

Pada gelombang pertama ini, ada dua tokoh filosof Islam yang lahir, yaitu; Al-Kindi (801 M -873 M) dan Al-Farabi (870 M – 950 M).

Pada tahap awal pertemuan ini, unsur-unsur Neoplatonisme yang menyusup ke dalam alam pikiran Islam, baik yang sejalan ataupun tidak dengan Alquran berkisar pada:

  • Penegasan akan transendensi Asal Pertama (الاصل الاول) atau Tuhan;
  • Emanasi segala yang ada daripadaNya;
  • Peranan Akal sebagai perantara penciptaan oleh-Nya dan merupakan letak bentuk benda-benda serta sebagai sumber penerangan jiwa manusia;
  • Kedudukan Jiwa pada perbatasan dunia intelek dan sebagai sambungan atau cakrawala antara dunia intelek dan dunia indera; dan
  • Sikap merendahkan materi sebagai ciptaan atau emanasi paling hina dari Yang Maha Esa dan tingkat paling bawah dalam susunan kosmis. (Majid Fakhry:Sejarah Filsafat Islam)

Gelombang Kedua (tahun 340 H/950 M - tahun 660 H/1260 M)

Jika gelombang pertama Hellenisme terjadi pada saat-saat kemunduran rezim Umayyah di Damaskus dan permulaan kebangkitan kaum ‘Abbasiyyah, maka gelombang kedua ini berlangsung ketika kekuasaan Baghdad itu mulai merosot dan situasi politik intern Dunia Islam menjadi tidak menentu.

Pada tahap ini muncullah tokoh-tokoh falsafah seperti; Ibn Sina (980 M – 1037 M) hingga Quthb al-Din al-Syirazi (1236 M – 1311 M)

Aliran-Aliran Filsafat Islam

Terdapat, sedikitnya, lima aliran dalam filsafat Islam:
1. Teologi Dialektik (‘ilm al-Kalam)
2. Peripatetisme (Masysya’iyyah)
3. Iluminisme (Isyraqiyyah)
4. Sufisme/Teosofi (Tashawwuf atau ‘Irfan), khususnya yang dikembangkan Ibn ‘Arabi
5. Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah)

Penjelasan:
Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik hampir sama dengan metode Peripatetisme, yaitu bersifat deduktif-silogistik. Yakni, prosedur untuk mendapatkan kesimpulan (silogisme) dari mempersandingkan dua premis. Dalam silogisme Aristotelian, dua premis itu masing-masingnya adalah premis mayor dan premis minor.

Perbedaan silogistik antara peripatetisme dan Teologi Dialektik adalah sebagai berikut:

Penjelasan:
Sementara metode epistemologi yang digunakan oleh iluminisme dan sufisme atau Teosofi (‘irfan) adalah metode intuitif atau eksperiensial. Intuisi ini, dalam khazanah Islam, diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ad) atau bahkan dengan ruh, dan sebagainya.

Prinsip dasar iluminisme, seperti juga Sufisme, adalah bahwa : “mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas hakikat sesuatu.”

Perbedaan Iluminisme dengan Sufisme –dalam hal ini ‘irfan (teosofi)– antara lain bahwa, meskipun sama-sama mengandalkan pada pengalaman langsung, iluminisme percaya pada kemungkinan pengungkapan pengalaman tersebut melalui bahasa-bahasa diskursif-logis.

Dalam ranah ontologi.
Peripatetisme Islam tak secara khusus memberikan perhatian pada aspek ontologi. Di luar aspek epistemologi, aliran peripatetisme banyak membahas tentang kosmologi.
Sementara aliran ‘irfan, iluminisme, dan filsafat hikmah memberikan perhatian yang cukup jelas pada wilayah ontologi.
1. ‘irfan :
Menekankan pada prinsip kesatuan wujud segala sesuatu dan tingkatan-tingkatan (hierarkhi) nya.
2. Iluminisme
Menekankan pada filsafat cahaya (nur), yakni pengidentikkan wujud dengan cahaya, dan non-wujud/nirwujud dengan kegelapan. Di antara keduanya terdapat lapisan-lapisan wujud antara cahaya dan kegelapan.
3. Filsafat Hikmah
Menekankan prinsipialitas (fundamentalitas) eksistensi terhadap esensi. Yakni bahwa yang real –yang memiliki korespondensi dengan realitas– adalah eksistensi. Sedangkan esensi –penampakan atau atribut-atribut lahiriyah dan mental– sebenarnya tidak real dan hanya merupakan bentukan (keterbatasan) persepsi manusia (I’tibari).
Mengembangkankan juga prinsip ambiguitas (tasykik) wujud. Yakni bahwa wujud bersifat tidak tetap, melainkan berpindah-pindah dalam hierarki wujud sejalan dengan gerak substansial.


Surat An Nisaa'/4 ayat 59,"... jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), .... Farudduhu ilallah ditujukan bukan kepada Allah sbg Dzat, tetapi kembalikanlah semua urusan kpda ILMU nya ALLAH, ALQURAN. Surat Al Baqarah ayat 156, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".  Hubungkan juga dengan Surat Al Alaq/96 ayat 8, Inna illa rabbika ruj’aa. Raji’un, ruj’a sama dengan kata bahasa indonesia RUJUKAN (kembali). “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada ILMU ALLAH ALQURAN jualah kita kembali sebagai rujukan”. Orang mati, ILMU yang dibawa nya lah yang mati, bukan jasadnya yg mati, mati jasad adalah proses biologis alam, semua mahluk hidup akan mengalami, bukan musibah, yg menjadi musibah adalah ILMU yg dibawa si jasad mati. Kembalikan rujukan ILMU nya hanya kepada AlQuran, karena siapa tahu ILMU yang dibawa si jasad mati tersebut adalah ILMU aduk"an antara AlQuran dan Alam Pikiran Yunani maupun SELERA/HAWA NAFSU (Insting dan Naluri) atau dualisme/musyrik.

1 komentar:

  1. Mantab..dan sekedar penambah wacana berpikir..Fitnah itu lebih kejam dr pembunuhan...dan siapa tahu ilmu yg ditinggalkan si mayit yg sdh kadung di hormati disebarluaskan padahal bukan dr Alquran justru penjungkir balikkan kedalam jahanam..si pemeraktek tanpa sadar krn tdk ada baromoter ballance padahal itu adalah ajaran fitnah..hidup bagai kerakap tumbuh di batu mati segan hidup pun tidak...laksana binatang,,laksana syetan gentayangan...itulah ajaran tidak berujung dan tdk berpangkal...

    BalasHapus