Selasa, 29 April 2014

MERASA PALING BENAR SENDIRI

Sejatinya, setiap firqah, kelompok, golongan, aliran, dan yang semisalnya, pasti "merasa paling benar sendiri". Tidak mungkin mereka merasa tidak paling benar.

Buktinya ?

Mereka begitu fanatic dengan kelompoknya. Mereka membela apapun yang ada pada kelompoknya dengan pembelaan yang luar biasa!! Hingga seolah membutakan mata dan menulikan telinga; sampai mereka tidak perduli meskipun apa yang dijumpai pada kelompoknya penuh dengan penyimpangan, kesyirikan, kebid'ahan, kemaksiatan, khurafat, serta berbagai pelanggaran syariat.

Bagi setiap pengikut kelompok, kelompoknya merupakan "fixed price", harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Kelompoknya tetap yang nomer satu. Kelompoknya tetap yang paling benar, tanpa kesalahan.

Sejatinya, "merasa paling benar sendiri" adalah sah-sah saja. Boleh-boleh saja. Asal berani berani bertanggung jawab atas sikap "merasa paling benar sendiri" tersebut. Silahkan Anda berteriak ke segenap penjuru dunia, bahwa Anda dan kelompok Anda adalah yang paling benar. Tapi, pada saat yang sama, Anda harus bertanggung jawab atas seruan Anda tersebut. Kalau sekedar hanya mampu berteriak tanpa disertai tanggung jawab, tidak perlulah manusia, hewan-hewan pun bisa berteriak.

Bagaimanakah tanggungjawab yang dimaksud ???

Yakni, ketika Anda memproklamirkan diri sebagai kelompok yang paling benar, maka silahkan Anda datangkan hujjah, bukti, dalil, burhan, keterangan, syawahid (penguat), bahwa Anda dan kelompok Anda adalah yang paling benar. Sebutkan, mana ayatnya, disertai penjelasan yang obyektif ilmi-ah. Kalau Anda sanggup menghadirkan dalil dan bukti, pengakuan Anda diterima. Kalau tidak, mohon maaf, sebaiknya Anda berhenti berteriak sebelum maut menghentikan teriakan Anda.

Apa yang dimaksud dengan dalil dan bukti kebenaran ???

Yakni, keterangan dari Allah menurut sunnah Rasul-Nya dengan pemahaman obyektif ilmi-ah secara pasti alam dan pasti budaya. Ini dalil dan bukti yang kita kehendaki. Bukan dalil dan bukti hasil rekayasa, penipuan, pembodohan, akal-akalan pemikiran sendiri, serta dominasi hawa nafsu.

Mengapa ???

Karena tolok ukur kebenaran adalah apa yang datang dari Allah yaitu ALQURAN.
"Al-haqqu min Robbika falaa takuunanna minal mumtariin..."
(Kebenaran itu datang dari Rabb-mu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu).
Inilah kebenaran yang hakiki. Ia datang dari Allah, yang dipraktekkan menjadi sunnah Rasul-Nya, Rasulullah mempraktekkannya bersama para Shahabat..

Kebenaran yang sejati tidaklah datang dari para pendiri, pemimpin, serta pembesar kelompok. Tidak pula datang dari kebiasaan serta warna dan ciri khas kelompok. Kebenaran datang dari sisi Allah, ALQURAN. Ia datang melalui dalil-dalil ilmiah dari Kitabullah wa sunnaturrasul dengan pemahaman ayatin bayinatin yang diberikan oleh dimensi malaikat kepada kalbu-kalbu yang menginginkannya melalui study/Rattil dan shalat Tahajjud. AlBaqarah ayat 97, Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.

Segala bentuk pemahaman, dari mana dan siapapun datangnya, selama tidak bersumber dari pemahaman ALQURAN, maka itu bukan kebenaran. Melainkan sekedar "sumbangan pemikiran", yang bisa diambil dan bisa dibuang. Diambil bila mencocoki pemahaman ALQURAN. Dibuang bila bertentangan dengannya.

 “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) menurut sunnah Rasul-NYA. jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada Allah menurut sunnah Rasul-Nya, Allah tidak mengatakan; jika kamu berselisih janganlah kamu merasa benar sendiri, atau kembalikan pada pendapat masing-masing. Akan tetapi Allah menyuruh untuk mengembalikannya kepada AlQuran wa sunnaturrasul. Maka, apa saja yang ditetapkan didalam Al Qur'an menurut sunnah Rasul-NYA, maka itulah kebenaran. Sementara, tidak ada yang lain setelah munculnya kebenaran, selain kesesatan.

DIAKHIRAT AKAN TAHU SIAPA YANG BENAR..! Ini sungguh pernyataan yang aneh, kenapa aneh? Kalau kebenaran diketahui setelah diakhirat terus untuk apa Allah menurunkan Al Qur'an sebagai pembawa kebenaran, terus untuk apa Allah mengutus para Nabi dan Rasul sebagai petunjuk dan penyampai Risalah, memangnya setelah tahu kebenaran diakhirat manusia akan dikembalikan lagi kedunia? Begitu?!

“Hingga apabila telah datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, “Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku beramal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan dihadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al Mukminun: 99-100)

Bagi seseorang yang benar-benar berniat ingin mencari kebenaran akan sesuatu biasanya ia akan total dan tidak setengah-setengah, ia akan mencari, membaca, bertanya, berguru, dll. Ia akan mencoba berpikir keluar dari kerangka pemikirannya selama ini, bahkan kalau perlu berusaha untuk mencobanya sendiri (berkecipung didalamnya). Ia akan mencoba merasakan sendiri bagaimana tenggelam, terseret arus, dll, ia akan mengambil resiko yang terburuk sekalipun untuk tahu kebenaran akan sesuatu yang dicarinya tersebut.

Sementara itu bagi orang yang hanya mencari pembenaran, ia akan cenderung melihat sesuatu dari sudut pandangnya sendiri saja, merasa cukup dengan apa yang diketahuinya, tidak pernah berkeinginan untuk menggeser posisinya sedikit saja apalagi beranjak dari tempat duduknya yang nyaman supaya sudut pandangnya berbeda. Ia menginginkan semua data dan fakta tersaji manis di mejanya, ia ingin orang-oranglah yang datang ke mejanya membawa semua bukti-bukti itu.

Apakah saya sudah menjadi orang yang benar? Belum..! Apakah saya termasuk yang mencari kebenaran? Bisa jadi, karena dengan bergabung di salah satu kajian yang ada adalah salah satu cara saya untuk belajar, belajar membaca sudut pandang yang berbeda-beda dari pemahaman saya selama ini. Banyak informasi, ilmu, wawasan, dll yang bisa didapat dari sini, tapi cukupkah dijadikan modal untuk mencari kebenaran? Tentu belum cukup, karena kebenaran yang disampaikan dalam kajian tersebut hanyalah sebuah pengantar, sebuah kunci pintu yang diserahkan kepada kita, kita sendiri lah yang harus membuka pintu dan masuk kedalam rumah ILMU, melalui study (rattil) terhadap ruangan-ruangan yang ada di dalam rumah tersebut, banyak hal yang harus disaksikan sendiri, dirasakan sendiri dan dibuktikan sendiri melalui RATTIL dan SHALAT TAHAJUD..!

(Untuk kuliner mania) banyak cerita atau tulisan tentang nikmat, gurih, atau bahkan rasa gatal-gatal dikulit setelah makan belalang goreng, tapi nikmat, gurih, gatal-gatalnya belalang goreng itu seperti apakah? Hanya yang pernah memakannya yang tahu rasanya. Dan apabila sudah pernah memakannya dan kemudian terasa gatal tidak berarti bisa disimpulkan bahwa semua orang yang makan belalang goreng pasti gatal-gatal, begitu pula sebaliknya. Tapi kalau kemudian menyimpulkannya hanya berdasarkan suatu pengamatan, dan kebetulan yang diamati setelah makan belalang goreng bikin gatal-gatal dikulit tanpa mau mencobanya sendiri, perdebatan gatal-gatal dan nikmat hanya akan sampai pada titik “menjemukan”, karena cuma berniat mencari sebuah pembenaran atas pengamatannya, dan bukan benar-benar berniat ingin mencari sebuah kebenaran tentang rasanya makan belalang goreng dengan memakannya sendiri. Maka Rattil dan Shalat Tahajud lah agar bisa merasakan manisnya sebuah kebenaran. (Baca catatan/artikel PENGERTIAN RATTIL ALQURAN DAN SHALAT TAHAJJUD, http://qurunkedua.blogspot.com/2014/04/runutan-tehnik-ratil-shalat-tahajud.html ).

Orang benar, tidak akan berpikiran bahwa ia adalah yang paling benar. Sebaliknya orang yang merasa benar, di dalam pikirannya hanya dirinya yang paling benar.

Orang benar, bisa menyadari kesalahannya. Sedangkan orang yang merasa benar, merasa tidak perlu untuk mengaku salah.

Orang benar, setiap saat akan introspeksi diri dan bersikap rendah hati. Tetapi orang yang merasa benar, merasa tidak perlu berintrospeksi. Karena merasa sudah benar, mereka cenderung tinggi hati.

Orang benar memiliki kelembutan hati. Ia dapat menerima masukan/kritikan dari siapa saja. Bahkan dari anak kecil sekalipun. Orang yang merasa benar, hatinya keras. Ia sulit untuk menerima nasihat,masukan apalagi kritikan.

Orang benar akan selalu menjaga perkataan dan perilakunya, serta berucap penuh kehati-hatian. Orang yang merasa benar, berpikir, berkata dan berbuat sekehendak hatinya tanpa mempertimbangkan dan mempedulikan perasaan orang lain.

Pada akhirnya...

Orang benar akan dihormati, dicintai dan disegani oleh hampir semua orang. Namun orang yang merasa benar sendiri hanya akan disanjung oleh orang-orang yang berpikir sempit, yang sepemikiran dengannya, atau orang-orang yang sekadar ingin memanfaatkan dirinya.
Kita ini, termasuk tipe yang manakah? Apakah kita tipe "orang benar" atau "orang yang merasa benar" ? Mari bersama evaluasi diri. Bila kita sudah termasuk tipe "orang benar", bertahanlah dan tetap rendah hati. Luar biasa..!!

ADALAH wajar kalau secara umum tiap orang merasa pendapatnyalah yang benar, lebih benar atau paling benar. Hal-hal demikian karena tiap orang punya ego dan super ego. Oleh karena itu sering terjadi perdebatan-perdebatan yang sengit yang berakhir dengan permusuhan. Hal ini karena ada yang keliru di dalam mengelola rasa benar sendiri.

Hampir semua orang disadari atau tak disadari tak mau menghargai pendapat orang lain. Tanpa mampu mengukur sendiri apakah pendapatnya lebih benar atau tidak. Itulah sebabnya maka sering muncul debat kusir yang tak ada manfaatnya.

Di dalam Surat An Nahl ayat 125 disebutkan bahwa salah satu syarat berbeda pendapat atau berdebat adalah, kedua belah pihak harus orang berilmu. 

Berilmu ini dalam arti keduanya harus menguasai ilmu yang sama. Misalnya, Si A adalah sarjana psikologi, maka Si B juga harus sarjana psikologi. Jika Si B yang bukan sarjana psikologi lantas berdebat dengan Si A yang sarjana psikologi, maka hanya akan menimbulkan kekacauan perdebatan yang tak bermakna

Dalam hal berbeda ilmu, maka masing-masing pihak harus menjelaskan dari mana sudut pandangnya. Dari psikologikah, dari agamakah, dari filsafatkah atau dari pandangan pribadi yang sifatnya sangat subjektif?

Langkah terbaik bagi Anda yaitu, mengetahui dengan siapa Anda berbicara dan di dalam kontek ilmu apa dia berbicara. Kalau Anda kurang faham maka lebih bijaksana Anda bertanya daripada Anda berkata tetapi salah.

Cukup banyak orang menderita “Fir’aunisme”, sebuah kondisi psikologis yang menyebabkan seseorang merasa benar-lebih benar dan paling benar. Sikap ini tak ada salahnya jika diucapkan ahlinya disertai penalaran atau contoh. Dengan demikian orang yang tak faham psikologi bisa memahaminya. Istilah “Firaunisme” dengan istilah “Obsession Direct Syndrome”. Maknanya sama saja.

Masihkan Anda merasa benar sendiri? Hanya Anda yang bisa menjawabnya dan hanya orang lain yang bisa menilai Anda. Yang pasti, tiap Anda mengeluarkan pendapat, sebaiknya ada “penalaran” dan “contoh”. Dengan demikian pendapat Anda bukanlah pendapat yang berlumuran subjektivitas semata.

Merasa paling pintar adalah tanda-tanda kebodohan karena dengan bersikap tersebut berarti tidak tahu dimana letak kelemahan diri sehingga dapat mengetahui kelebihan yang dimilki makhluk lain. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin bisa hidup sendiri, memerlukan orang lain, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan yang lainnya.

Kenapa merasa paling pintar adalah tanda-tanda kebodohan?
  1. Ingat kisah Nabi musa yang pernah merasa paling pintar, lalu ditegur oleh Allah yang maha berilmu bahwa masih ada makhluk lain yang lebih pintar, lalu dipertemukan dengan Nabi khidir dan ternyata kebingungan ketika dihadapkan dengan beberapa peristiwa, hal ini bukan berarti Nabi musa lebih bodoh dari Nabi khidir atau sebaliknya. Yang terjadi adalah masing-masing punya kelebihan dibidang tertentu dan punya kelemahan pada bidang lainnya.
  2. Coba bertanya pada diri sendiri, misalnya tanyakan apakah bisa membuat madu, jawabannya kemungkinan besar tidak bisa, kecuali jika sudah menemukan teknologi yang mampu mendukungnya. hal ini berarti lebah lebih pintar dari kita
  3. Setiap hari kita menggunakan bermacam alat kebutuhan rumah tangga, siapa yang membuatnya? sudah pasti orang lain. jadi pada sisi tersebut ternyata kita lebih bodoh dari mereka.
  4. Sebuah perusahan akan mampu berproduksi dengan bagus apabila ada quality kontrol yang bertugas mengoreksi hasil karya setiap karyawan yang telah memberikan karyanya, jadi sebagai karyawan pasti pernah melakukan tindakan bodoh sehingga harus ada petugas khusus yang melakukan kontrol.

Sikap merasa paling pintar adalah sesuatu yang justru membahayakan diri sendiri serta lingkungan sekitar, karena dalam bertingkah laku selalu merasa paling benar dan orang lain salah. Hal ini tentu akan sangat merugikan diri sendiri ketika apa yang kita lakukan ternyata sangat buruk imbasnya. jadi setiap orang membutuhkan orang lain untuk memberikan koreksi agar apa yang kita lakukan selalu berada pada jalan yang benar. kata mutiara terpopuler dalam hal ini adalah “Dalam berkata sebaiknya engkau merendah namun dalam bertindak sebaiknya tunjukan kemampuanmu”

1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr.wb... Pak ijin save and share yaa postingannya...
    terima kasih banyak Pak... Ditunggu postingan berikutnya...

    BalasHapus