Selasa, 29 April 2014

KOMPARASI STUDY SURAT ALBAQARAH

KOMPARASI STUDY SURAT ALBAQARAH

A'udzubillahiminasyaithaanirrajiim
Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alif Lam Mim pada ayat pertama dianggap satu kalimat sempurna.

Beberapa cara turunnya wahyu antara lain ada yang bagaikan bunyi lonceng. Contohnya Aliif Laam Miim. Bunyi lonceng adalah lambang yang mempunyai rumusan tertentu. Demikianlah lambang Aliif Laam Miim yang mempunyai rumusan-rumusan tertentu.

"Dzalika" isim isyarah (kata penunjuk isyarat). Isyarat menunjuk pada ayat 1, "yang demikian itu.." atau "begitulah.." kepada ayat Aliif Laam Miim. Setiap surat tersusun secara sistimatis, ayat 1 adalah inti atau pokok isi surat. Ayat selanjutnya adalah tafsir (penjelasan) dari ayat 1.

Ayat 2, Dzalikal Kitaabu.., "begitulah kitab (al Quran) ini..." jika dikaitkan dengan ayat 1 sebagai inti surat. Kitab al Quran dipersamakan dengan lambang Aliif Laam Miim yang mempunyai rumusan tertentu. Tulisan demi tulisan, huruf demi huruf di dalam al quran adalah lambang-lambang dari Allah yang isinya mengandung makna ('Ilmu). 'Ilmu itulah sebagai rumusan dari setiap lambang untaian kata-kata dan kalimat dalam al Qura.

Laa raiba fiihi hudallilmuttaqiin.., "tidak ada keraguan di dalam isinya, pedoman bagi yang muttaqiin..". Isi alquran yaitu rumusan-rumusan yang terkandung didalam lambang-lambang bacaan adalah 'ilmu dari Allah. 'Ilmu itulah yang tidak diragukan lagi kebenarannya sebagai pedoman bagi yang muttaqiin.

Muttaqiin adalah isim fa'il (kata pelaku) artinya yang bertaqwa. Taqwa secara kamus artinya takut/patuh. Jadi muttaqiin = "yang patuh dengan 'Ilmu Allah (AlQuran)" atau "yang takut melanggar larangan Allah".

Selanjutnya, istilah muttaqiin diberi tafsir (penjelasan) oleh ayat berikutnya, alladziina yu’minuuna bil ghaibi wa yuqiimuna shalata wa min maa razaqnaahum yunfiquun. "yaitu yang beriman dengan Al Ghaib...dst" dan dijelaskan lagi ayat 4, "yaitu yang beriman dengan yg diturunkan kepada anda (Rasul Muhammad)...dst"

Jadi klo berdasar tafsir quran pada ayat 3 dan 4:
- Muttaqiin adalah yang beriman dengan Al Ghaib yaitu mereka yang menegakkan shalat, yaitu yang menafkahkan menurut sistem pembagian rizqi dari Allah (sama dengan Wa atuzzakaata, menggunakan sistem ekonomi zakat dan mengharamkan sistem ekonomi riba).
- Muttaqiin adalah yang beriman dengan apa yg diturunkan kepada Rasul Muhammad (al Quran)..dst.

Mengenai apa apa yg dimaksud beriman maka istilah Iman insya Allah akan kita temui tafsirnya pada ayat-ayat berikutnya. kata nabi, Hadis: Al Quranu yufassiru ba'duhu ba'dan. (al quran saling memberi tafsir sebagian terhadap sebagian yang lain).

Ayat 2 sampai dengan ayat 5 menjelaskan apa yang menjadi kesimpulan pada Surat Al Fatihah yaitu mereka yang Shirathal ladziina an'amta alayhim yaitu mereka para nabi beserta pendukung-pendukungnnya mulai dari nabi Adam sampai dengan nabi Muhammad. Pada ayat 2-5 mereka yg demikian itu diberi istilah "Muttaqiin". Mereka patuh dengan 'Ilmu Allah (AlQuran)

Ayat 6 dan 7 menjelaskan Dhaalliin yang diberi istilah Kafir. Mereka negatif atau tidak mau dengan 'Ilmu Allah (Al Quran).

Ayat 8 - 16 menjelaskan yang maghdhuubi 'alayhim. Cara kerjanya mendustakan ayat-ayat Allah (yakdzibuuna). Mereka ini berdua muka terhadap 'Ilmu Allah (al quran).

Ketiga model di atas masih digambarkan secara imajiner oleh Quran. Imajiner maksudnya masih dalam bentuk gagasan, belum ada oknumnya. Mengenai pembuktian dari gagasan 3 model kehidupan tersebut insya Allah akan kita temukan pada ayat-ayat selanjutnya.

Tonggak awal sejarah kebudayaan dan peradaban manusia adalah nabi Adam. Maka pembuktian gagasan dari 3 model yang tersebut dalam surat al Fatihah akan di mulai dari lika-liku peradaban dan kebudayaan nabi Adam.

Mungkin perlu kita ingat bahwa ada 2 metode dalam membaca. Metode deduktif dan induktif. Metode Induktif adalah dari penjelasan satu persatu ke pandangan umum. sebaliknya metode induktif adalah dari pandangan umum ke penjelasan satu persatu. Ketika kita berada di surat al fatihah maka kita menggunakan metode deduktif. Ketika kita berada di surat-surat panjang maka kita menggunakan metode induktif yaitu membaca perincian dari pandangan umum (al fatihah). Yang demikian ini diperlukan agar pandangan al quran dari Allah dapat dipahami secara obyektif tanpa bercampur baur dengan ra'yu si pembaca.

Ayat 17 20 Allah menggambarkan dengan bahasa tasybih (perumpamaan). Di dalam sastra AlQuran (Balaghah) kita mengenal bahasa biasa (gamblang) dan bahasa tasybih (perumpamaan).

Bahasa tasybih (perumpamaan) mempunyai 4 perangkat tasybih:

1. Musyabah = yang diperumpamakan
2. Musyabah bih = perumpamaan
3. Adat tasybih = alat perumpamaan (ka=seperti, matsalu=seperti, kaannaka=seolah-olah dsb)
4. Wajah syabah = hubungan persamaan antara yang diperumpamakan dengan perumpamaannya.

Contoh Pada ayat 17:
Musyabah (yang diperumpamakan) adalah HUM, mereka yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya yakni HUM yang sawaa-un alayhim a-andzartahum am lam tundzirhum laa yu-minuun..(ayat 6) juga termasuk HUM yang wa minaannaasi man yaquulu aamanna billahwa maa hum bi mu-miniin (ayat 8). Atau kalau kita rujuk ke pandangan umum alquran yaitu surat al fatihah, HUM sama dengan mereka yang maghduub dan Dhaalliin.

Musyabbah bih (perumpamaan) adalah pasti alam. Semua ayat-ayat pasti alam di dalam Al Quran pada umumnya adalah perumpamaan untuk menjelaskan budaya. Musyabbah bih atau perumpamaan pada ayat 17 ini adalah peristiwa pasti alam "menyalakan api unggun".

Adat tasbih (alat perumpamaan) : MATSALU artinya perumpamaan dan KAMATSALI artinya seperti.

Wajah Syabah (Hubungan Persamaan) : sama-sama "dzulumaatun" (gelap/bayangan). Dalam bahasa perumpamaan yang paling pokok justru pada hubungan persamaan. Pada hubungan persamaan lah yang memberi penjelasan maksudnya. Oleh karena pada umumnya perumpamaan di dalam alquran menggunakan peristiwa pasti alam maka cara kerja pasti alam harus kita dipahami terlebih dahulu.

Misalnya pada ayat 17 ini maka kita harus memahami tentang sifat-sifat atau cara kerja cahaya dan bayangan. Bayangan muncul setelah ada sinar terang. Pantulan sinar terang disebut NUR sedangkan bayangan disebut Dzulumat. Pandangan yang kita lihat dikala adanya sinar terang adalah ujud asli namun begitu sinar terang dihilangkan maka ujud asli menjadi kesan, angan-angan atau bayangan.

Ketika kita menyalakan api unggun maka ujud yang kita lihat sebagai pantulan terang adalah asli. Tetapi begitu api unggun dimatikan maka kita dalam kegelapan, apa yang kita pahami dalam kesadaran dikala gelap adalah hanya kesan. Jika kita merasa ada orang di depan kita maka perasaan itu adalah hasil menanggapi dikala terang. Kita tidak tahu lagi kenyataan sebenarnya bahwa orang yang ada di depan kita mungkin saja sudah berubah atau pindah. Dengan begitu, perasaan yang muncul dikala gelap adalah kesan, angan-angan atau subyektifisme manusia. Yang perlu digarisbawahi dari prinsip ini bahwa tidak ada subyektif manusia tanpa ada pantulan terang dari Allah sebelumnya. Artinya, Ilmu yang berisi pandangan hidup adalah hanyalah dari Allah dimana manusia, baik yang kufur maupun yang munafik sebenarnya tidak bisa mencipta ilmu apapun kecuali hasil subyektif dengan mengaduk-aduk Ilmu Allah dikala terang. Karena mereka tidak mau dengan Al Quran menurut sunnah Rasul nabi Muhammad maka kerjanya adalah mengolah Al Quran dengan subyektifismenya untuk kepentingan mereka.

Ayat 17 :
Matsaluhum kamatsalilladziistawqada naaran..
"Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api unggun.."

Falammaa adhaa-at maa hawlahu..
"Maka tatkala api unggun itu menerangi sekelilingnya.."

Sampai di sini perlu kita ingat rangkaian kalimat-kalimat sebelumnya. Dengan demikian maka "api unggun yang menerangi sekelilingnya" maksudnya adalah yang tersebut sebelumnya pada ayat ke 2 yakni al kitab (alquran)yang tidak ada keraguan di dalamnya sebagai hudan lilmuttaqiin.

Selanjutnya, oleh karena mereka tidak mau dengan Al Quran maka,

Dzahaballahu binuurihim
"Allah menghilangkan Nur (pantulan terang) terhadap mereka".

Perlu di ingat lagi bahwa ayat ini merupakan bahasa perumpamaan (tasybih) dengan begitu NUR di sini adalah Al Quran yaitu pantulan terang (NUR) dari Allah. Karena mereka tidak mau dengan Al Quran maka mereka tidak lagi berpandangan dengan Al Quran (NUR) dari Allah sehingga mereka tenggelam dalam bayangan/kegelapan/angan-angan subyektifismenya.

Watarakahum fii Dhulumaatin laa yubshiruun
"Dan DIA (Allah) menjerumuskan mereka ke dalam Dhulumaatin (bayangan/kegelapan/angan-angan/ subyektif) sehingga mereka tidak lagi berpandangan NUR (Al Quran) dalam kehidupan (yubshiruun dari kata bashara = melihat dengan ilmu = berpandangan)".

Ayat 18 masih menggambarkan dengan bahasa perumpamaan (tasybih) namun menggunakan bahasa tasybih tersembunyi karena Adat Tasbih (alat perumpamaan) nya tidak disebut. Tidak disebut bukan berarti tidak ada dalam makna. Pada makna tetap digunakan walaupun tidak disebutkan dalam ucapan. Dalam bahasa percakapan kaidahnya, fashahatul kalaam al ma'lum makhdzuuf, "fashihnya bahasa percakapan ialah kalimat yang sudah dimaklum disembunyikan". Sehingga pada ayat 18 adalah bahasa tasybih yang disembunyikan adat tasybihnya karena sudah dianggap maklum.

Pada ayat 18, mereka yang maghdhuub dan dhaalliin digambarkan seperti orang tuli, bisu dan buta. Tentunya disini bukan benar-benar tuli, bisu dan buta tetapi karena telinga, mulut dan matanya tidak berfungsi untuk menanggapi Al Quran. Allah mencipta telinga, mulut dan mata adalah sebagai alat untuk menanggapi Al Quran. Sehingga mereka tidak akan kembali menurut Al Quran untuk satu kehidupan.

Pada ayat 19, Materi Al Quran menurut sunnah nabi Muhammad (musyabbah = Yang diperumpamakan) digambarkan bagaikan hujan lebat, Guntur dan kilat (Musyabbah bih = perumpamaan) sehingga mereka seperti orang yang menjadikan telunjuknya penyumbat telinga dari sambaran dakwah pandangan-pandangan Al Quran menurut sunnah Rasul nabi Muhammad (Wajah Syabbah = hubungan persamaan).

Ayat 20: Yakaadul barqu yakhthafu abshaarahum
"Hampir-hampir kilat (dakwah Al quran menurut sunah rasul Muhammad) menyambar pandangan mereka.

Kullamaa adhaa-a lahum masyaw fiihi
Setiap kali (dakwah Al Quran) menyalakan pandangan (NUR) niscaya mereka menjalankan (subyektifisme-nya).

Wa idza athlama alayhim qaamuu
Tetapi apabila kehidupan Dzulumaatun (kegelapan/bayangan=maghdhuub-dhaalliin) menerpa mereka niscaya mereka hidup membangun menurut demikian (qaamuu artinya membangun/tegak/berdiri. Bentuk amar/perintah-nya aqiim seperti pada aqiimushalaata).

Walau sya-allahu ladzahaba bisam'ihim wa absharihim
Kiranya Allah merestui untuk mensirnakan pandangan hidupnya.

Innallaha `alaa kulli syai-in qadiirun.
Sesungguhnya Allah adalah maha perancang kehidupan (Qadiirun bentuk kata pelaku maha (isim fa'il musyabahah mubalaghah), masdarnya Qadarun/Taqdirun/Qudratun artinya ukuran/ rancangan/ketentuan)".

Surat al baqarah ayat 30 Allah mulai menggambarkan implementasi dari gagasan yang disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya. Kalau pada ayat-ayat sebelumnya Allah belum menyebutkan pelaku-pelakunya secara kongkret atau masih gagasan dalam bentuk imajiner maka mulai ayat 30 Allah sudah menyebutkan siapa pelaku-pelaku sejarah secara kongkret.
Tonggak perjalanan sejarah dimulai sejak nabi Adam. WA IDZ QAALA RABBUKA LILMALAA-IKATIHI INNII JAA'ILUN FIIL KHALIIFAH.. pada kalimat ini tercermin bahwa Allah menyatakan rencana-Nya akan menciptakan Khalifah di muka bumi. Siapakah yang dimaksud khalifah di sini? Arti khalifah adalah "pilihan". Kalau kita kaitkan dengan hadis QADRUHU KHAYRUHU WA SYARRUHU MINALLAH, rancangan hidup Khayr dan Syarr dari Allah, maka yang dimaksud pilihan adalah Khayr lawan Syarr dari Allah. Dimana pilihan ini oleh Allah dihadapkan kepada Adam. Apabila Adam memilih rancangan (qadar) Syarr maka pasti akan mengujudkan kehidupan YUFSIDU FIIHAA WA YASFIKUDDIMAA-A, berbuat rusak yaitu yang melakukan pertumpahan darah. Itulah yang menyebabkan malaikat interupsi terhadap rencana Allah, seolah-olah Malaikat sudah memprediksi bahwa jika Adam diberi pilihan Khayr lawan Syarr maka Adam pasti akan memilih Syarr. Interupsi Malaikat langsung dijawab oleh Allah, INNII A-`LAMU MAA LAA TA'LAMUUNA, kalau bahasa betawinya, "Sebenarnya Gue yang punya `Ilmu atau elu yang punya `Ilmu ?!".
 
Selanjutnya pada ayat 31, Allah merealisasi rencana-Nya menurunkan `Ilmu-Nya yang isinya pilihan Qadar Khayr lawan Syarr. WA `ALLAMA AADAMAL ASMAA-A KULLAHAA.. `ALLAMA adalah mutaaddi (kata kerja berobjek) yang dibentuk atas pola fi'il tsulatsil mazid (kata kerja tiga huruf tambahan). Akar katanya (masdar) adalah `ILMAN atau `ILMUN. Dalam kaidahnya, kata kerja berobjek yang dibentuk dari kata benda maka masdarnya (akar kata) otomatis menjadi objek. Dalam kalimat tidak perlu disebut namun dalam makna harus tetap dipakai. Dengan demikian kalau di I'rab kalimat asalnya menjadi, WA `ALLAMA AADAMAL ASMAA-A (`ILMAN) KULLAHA, "DIA (Allah) telah meng-`Ilmu-I Adam rangkaian keterangan (Al Asmaa-a) seluruhnya menjadi `Ilmu (`Ilmu akar kata dari `ALLAMA otomatis menjadi objek)".

Selanjutnya pada ayat 32, Malaikat merendah sekaligus mengakui, LAA `ILMALANAA ILLAA MAA `ALAMTANAA, "Tidak ada `Ilmu bagi kami kecuali apa yang ANDA (Allah) telah ajar kami".
Hasil akhir dari Allah mengajarkan `Ilmu-Nya yang berisi Khayr lawan Syarr adalah Adam justru memilih Khayr sehingga mewujudkan kehidupan Jannah. Pilihan Adam ini membuktikan apa yang menjadi interupsi Malaikat sebelumnya bahwa prediksinya Adam akan memilih syarr sehingga mewujudkan kehidupan pertumpahan darah adalah keliru. Hal ini terbukti pada ayat 35, WA QULNAA YAA AADAMUSKUN ANTA WA ZAWJUKALJANNAH, Maka KAMI (Allah) menegaskan: "Wahai Adam! Hidup teguhlah anda dan sejawat Anda (ZAWJUKA) menjadi satu kehidupan JANNAH".

Sampai disini perlu kita pahami apakah dan dimanakah Jannah itu. Merujuk kepada ayat sebelumnya (ayat 30) bahwa Allah akan menciptakan Khalifah di muka Bumi dan proses penciptaan alam semesta khususnya penciptaan Adam (Adam diciptakan dari unsur Shalshalin kelanjutan dari unsur Thiin) yang kelak akan kita temui di surat-surat yang lain maka Jannah letaknya adalah di Bumi (fiil Ardhi). Jannah dari segi arti kata adalah Taman. Kalimat pada ayat 35 termasuk kalimat sastra dimana Allah menggambarkan maksudnya dengan bahasa perumpamaan (tasybih). Kehidupan atas pilihan Khayr oleh Allah digambarkan seperti Taman. Taman pasti dirawat, dipagar, dipupuk sehingga menghasilkan keindahan dan panen yang memuaskan. Nabi Muhammad pun pernah menggambarkan Rumah Tangganya sebagai Jannah (BAITII JANNATII). Jannah yang dimaksud nabi Muhammad adalah perumpamaan untuk menggambarkan keindahan rumah tangganya yang ditata, dirawat, dipupuk, disiram dengan Al Quran.

Sampai disini dapat kita simpulkan, sebenarnya manusia seumumnya pada hakekatnya apabila dihadapakan pada pilihan Khayr lawan Syarr dari Allah tanpa pengaruh bisikan syaithan pasti akan memilih Khayr. Ini dibuktikan oleh Allah pada tonggak awal sejarah manusia, Adam sebagai abul basyar. Pilihan Adam adalah Khayr, Jannah.
Pada ayat selanjutnya kita akan melihat bagaimana peranan syaithan dalam memperdaya kesadaran Adam yang menyebabkan Adam tergelincir kepada pilihan Syarr sehingga terjerumus kedalam kehidupan BA'DHULUM LIBA'DHIN ADUWWUN, saling baku hantam, seperti yang diprediksikan Malaikat bahwa jika manusia memilih Syarr maka akan mewujudkan kehidupan pertumpahan darah.

Ayat 36, FA AKHRAJA HUMAA MIN MAA KAANA FIIHI.., kata-kata HI pada FIIHI yang dimaksud adalah Jannah pada ayat sebelumnya. "Maka dia (syaithan) mengeluarkan keduanya dari apa yang keduanya berada dalam yang demikian (jannah)".

Dimaksud keluar di sini keluar dari pilihan Khayr yang mewujudkan kehidupan Jannah, masuk ke dalam pilihan Syarr yang mewujudkan kehidupan saling baku hantam. Kaitkan dengan istilah Khalifah dari perkataan KHALAFA-YAKHLIFU-KHILAFATAN artinya gonta-ganti, memilih. Isim Fa'il (kata pelaku)nya yang bergonta-ganti, yang memilih. Di dalam psikologi barat istilah Khalifah ini mereka ambil kemudian mereka rumuskan dalam literatur psikologi "life is alternative", Hidup adalah pilihan. Pilihan adalah pilih satu korbankan yang lain. Pilihan hidup dari Allah, Khayr lawan Syar, sedangkan manusia dipersilahkan memilih. Jadi Adam, setelah memilih Khayr, karena bujuk rayu syaithan akhirnya berganti pilihan kedalam Syarr. Oleh ayat lain pilihan Syarr diistilahkan Sajaratuzzaquum (buah zaqum) atau sajaratul Khuldi (buah khuldi). Karena ini peribahasa maka harus kita terjemahkan dengan peribahasa yang maknanya sebanding ke dalam bahasa Indonesia. Maka Sajaratuzzaquum atau Sajaratul Khuldi sebanding dengan peribahasa "Buah Simalakama", di makan bapak mati tapi kalau tidak dimakan ibu mati. Artinya, hidup serba salah, serba tidak enak karena dimanapun Ba'dhukum liba'dhin aduwwun (saling baku hantam).

Ayat 37 dan 38, menggambarkan Adam Taubat.

Ayat 39, kembali kita diingatkan kepada Pandangan Umum, Ummul Kitaab (Al Fatihah). Kalau di surat Al Fatihah di istilahkan Maghdhub dan Dhaalliin maka di ayat ini diistilahkan Kafaruu dan Kadzdzabuu. Ingat ayat sebelumnya, Kafara = Dhaalliin yaitu mereka yang negative dengan Khayr, SAWAA-UN ALAYHIM A-ANDZARTAHUM AM LAM TUNDZIRHUM LAA YU-MINUUN (Al Baqarah ayat 6). Sedangkan Kadzdzaba = Maghdhuub yaitu yang bermuka dua dengan pilihan Khayr lawan Syarr, mereka mengaku "beriman" tetapi oleh Allah justru dikatakan "tidak beriman" (Al Baqarah ayat 8-9).


Disimpulkan oleh ayat 39 ini bahwa : ..UULAAIKA ASHHAABUNNAARI HUM FIIHAA KHAALIDUUN, "Mereka itulah pendukung kehidupan NAAR, di dalam mana mereka adalah abadi (dengan pilihannya)". Kesimpulan ayat ini akan dibuktikan kenyataannya oleh Allah terutama pada kaum bani israil kelak.

Masih berbicara sejarah perjalanan Bani Israil abad 12 SM, zaman Fir'aun yang berhadapan dengan Taurat menurut sunnah nabi Musa.

Ayat 47, YAA BANII ISRAA-IILADZKURUU NI'MATIILLATII AN'AMTU `ALAYKUM WA ANNII FADHALTUKUM `ALAAL `AALAMIIN. UDZKURUU, kata perintah (fi'il amar) artinya "dzikirlah kalian!". Arti dzikir bukan hanya sekedar "ingat" tetapi "hidup sadar". NI'MATII artinya nikmat-KU. Nikmat pada ayat ini adalah ajaran Allah (Taurat) yang telah dikaruniakan kepada Bani Israil melalui kerasulan nabi Musa. Oleh karena Taurat diturunkan di kalangan Bani Israil maka dengan Taurat tersebut Bani Israil diangkat oleh Allah menjadi bangsa yang lebih dibanding umat yang lain. Umat yang lain di sini ialah kekuasaan Fir'aunisme dengan keterangan pada ayat 49 yang menggambarkan Bani Israil pada Zaman nabi Musa dikala berhadapan dengan peradaban Mesir Kuno, Fir'aunisme, sekitar abad 12 SM.

Ayat 48, WATTAQUU YAUMAN.. "Dan jagalah diri kalian (terhadap pilihan Syarr) pada satu YAUM ..". Istilah YAUM jamaknya AYYAMUN artinya peredaran/periode/zaman. Misalnya, peredaran satu kali bumi berputar di sekitar matahari disebut 1 hari (1 yaum atau 1 peredaran). YAUM tidak harus berarti "hari" tergantung konteks kalimat. Seperti pada S. Hud 7, DIA yang telah menciptakan angkasa dan bumi FII SITATI AYYAM. Kata AYYAM (jamak dari YAUM) disini berarti periode bukan hari. Sebab 1 YAUM diberi ukuran oleh ayat lain (S. Sajadah 4-5) 1000 tahun menurut perhitungan kalian di bumi. Jadi FII SITATI AYYAM artinya "dalam 6 periode" dimana 1 periode sama dengan 1000 tahun. Contoh lain, YAUMUL QIYAMAH artinya "Peredaran tegaknya/bangkitnya (QIYAAMAH = Tegak/Bangkit) alam akhirat hancurnya alam dunia".

Kembali kepada istilah YAUM pada ayat 48. YAUM pada ayat ini bisa kita artikan "peredaran hidup" yang peredarannya itu dijelaskan oleh ayat 49, WA IDZ NAJAYYANAA KUM MIN AALI FIR'AUN.. "Yaitu dikala KAMI (dengan Taurat menurut sunnah Musa) membebaskan kalian (Bani Israil) dari cengkraman pendukung-pendukung Fir'aunisme..". Jadi YAUM disini adalah peredaran hidup dikala menangnya Khayr oleh nabi Musa dan hancurnya Syarr (Pendukung-pendukung Fir'aunisme).

Ayat 48, WATTAQUU YAUMAN.. "Dan jagalah diri kalian (terhadap pilihan Syarr Fir'aunisme) pada satu peredaran hidup (kemenangan ajaran Allah, Taurat) ..". LAA TAJRII NAFSUN AN NAFSIN SYAI-AN, "..dimana setiap diri satu dengan lainnya tidak akan menghasilkan kekuatan/pembelaan apapun". WA LAA YUQBALU MINHAA SYAFAA'ATUN, "yaitu tidak akan diperkenankan permohonan keringanan (syafaa'at) darinya". WA LAA YU-KHADZU MINHAA `ADLUN, "yakni keadilan (`adlun) tidak akan dilacurkan karenanya". WA LAA HUM YUNSHARUUN, "sehingga mereka yang demikian tidak akan tertolong (YUNSHARUUN) oleh siapapun".

Gambaran kemenangan ajaran Allah pada ayat 48 ini berulang kembali menjadi kemenangan Al Quran oleh nabi Muhammad dan pendukung-pendukungnya dikala Madinatul Munawarah. Dimana pada waktu itu, peradaban pilihan Syar Romawi Barat dan antek-anteknya, Persia Lama dan antek-anteknya serta Nasionalisme Arab Quraisy hancur luluh .

Untuk era sekarang ini akankah kemenangan ajaran Allah; Taurat, Zabur, Injil, Quran pada zaman nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin berulang menjadi kemenangan umat Islam untuk yang kedua kalinya?

Bagaimanakah kondisi umat Islam di Indonesia sekarang yang justru sebagian para pakarnya meninggalkan Al Quran malah mencari ilmu (ajaran) ke Amerika dan Eropa? Akankah pilihan Syar Amerika, Cina, Rusia, Eropa hancur seperti hancurnya Fira'unisme pada zaman nabi Musa, seperti hancurnya Jalut (Philistin) pada zaman nabi Daud, seperti hancurnya Romawi Barat pada zaman nabi Isa, seperti hancurnya Romawi Timur pada zaman nabi Muhammad?

Ayat 49, Allah menandaskan bahwa Peradaban di bawah kekuasaan Fir'aunisme, DZALIKUM BALAA-UN MIN RABBIKUM `AZHIIM, "sungguh, perihal yang demikian itu adalah bencana hidup (BALAA-UN) dari pilihan Syarr Pembimbing kalian (MIN RABBIKUM), yang luar biasa (`AZHIIM).

Ayat 54, WA IDZ QAALA MUUSAA LI QAUMIHI, "YAA QAUMI, INNAKUM ZHALAMTUM ANFUSAKUM BITTIKHAADZIKUMUL `IJLA". Yakni satu ketika dikala mana Musa berkata kepada bangsanya, "Wahai bangsaku! Sebenarnya kalian menjadi hidup atas pilihan Zhulumat (Zhalamtum) dengan jalan memperlakukan system hidup "Anak Sapi Perahan" (Al `Ijla)".

AL `IJLA adalah system anak sapi perahan. Sistem sapi perahan adalah system perburuhan yang dibangun oleh para kapitalis (pemilik modal). Bagaimanakah system sapi perahan?

Induk sapi memproduksi susu sapi. Hak siapakah sebenarnya susu sapi? Susu sapi adalah hak anak sapi. Adanya susu sapi karena induk sapi melahirkan anak sapi. Namun oleh peternak sapi, setiap pagi dan sore susu sapi diperah, hasil perahannya diambil sekaleng untuk anak sapi sedangkan sebagian besar yang lainnya dijual oleh petani sapi. Artinya, disini, petani sapi sebenarnya telah merampas hak anak sapi. Dalam dunia peternakan yang demikian adalah hal yang wajar namun prinsip yang demikan kalau diterapkan dalam system ekonomi adalah penindasan/penjajahan.

Contohnya, perusahaan sepatu. Dari mana produk sepatu? Sepatu adalah produk dari kerja para buruh. Tidak ada produk sepatu tanpa jerih payah buruh. Sepatu di sini kita analogikan sama dengan susu yaitu produk. Laba hasil penjualan sepatu sebenarnya adalah hak buruh. Namun kenyataannya buruh hanya diberi "sekaleng" gaji sedangkan semua laba perusahaan diambil oleh pemilik modal (kapitalis). Bagaimana kita menghitung laba? Laba = penjualan
biaya tenaga kerja (gaji), biaya bahan baku, biaya overhead pabrik. Dari rumus itu dapat kita lihat, laba perusahaan justru 100% dirampas oleh pemilik modal yang justru tidak bekerja (lebih parah dari sapi perahan). Sedangkan gaji adalah masuk golongan biaya-biaya untuk menghasilkan produk sepatu. Mengenai Modal, nabi Muhammad menegaskan, KULLU QIRDHIN JARAA BIHINNAF'A FAHUWARRIBAA, "Setiap investasi modal yang menyerap keuntungan adalah riba".

Kalau kita bandingkan dalam system ekonomi zakat, bahwa modal tidak boleh mengambil keuntungan, Tanah (Bumi) adalah milik Allah (nggak perlu Sertifikat Hak Milik, akal-akalan Hukum Agraria Belanda dlm rangka merusak hak ulayat, cukup Hak Guna Pakai). Yang berhak mendapatkan hasil adalah mereka yang bekerja, produktif. Setiap yang terkena air hujan zakatnya 10%, kalau menggunakan irigasi 5%. Pemerintahan (`AAMILUN) dibiayai oleh Allah dari anggaran pendapatan Zakat. Jadi kalau pemerintah korupsi sama dengan mencuri hak Allah, hukumnya wajar kalau dipotong tangan.

Kembali ke system AL `IJLA pada zaman nabi Musa. Sebenarnya system yang diterapkan Yahudi pada zaman nabi Musa sama dengan system ekonomi yang diterapkan Yahudi sepeninggal Nabi Muhammad, dengan munculnya Eropa Modern yang mencapai puncaknya pada abad 21 ini. Prinsipnya sama-sama system perekonomian Riba. Yang demikian itu sama dengan menjerumuskan manusia kepada kemiskinan. Menciptakan segelintir manusia kaya raya sedangkan massal manusia yang lain miskin papa. Itulah system hidup Zhulumat (Zhalamtum), system Al `IJLA (system anak sapi perahan), dimana seluruh manusia hidup mengabdi kepada Al `IJLA. INNAKUM ZHALAMTUM ANFUSAKUM (Sesungguhnya kalian menzhulumatkan bangsa kalian sendiri).

Wabillahi taufiq Walhidayah..

1 komentar:

  1. Assalamualaikum..

    sebenarnya sy tanyakan di judul komparasi surat muzammil..mohon jawaban y


    Pak penulis..makna rattil adalah studi/mengulang ayat per ayat sehingga menjadi pemahaman dan pandangan..terus kalau kita bangun malam dan tahajud jg..dan kebetulan sudah banyak makna dan terjemahan AMS Rassul yg lebih Objective dr tafsir depag dr temen2 di blog amsr..maksudnya kita hafal saja apa bisa jg dikatakan melakukan Rattil..mohon jawaban y

    Pak penulis..makna rattil adalah studi/mengulang ayat per ayat sehingga menjadi pemahaman dan pandangan..terus kalau kita bangun malam dan tahajud jg..dan kebetulan sudah banyak makna dan terjemahan AMS Rassul yg lebih Objective dr tafsir depag dr temen2 di blog amsr..maksudnya kita hafal saja apa bisa jg dikatakan melakukan Rattil..mohon jawaban y

    BalasHapus