Rabu, 30 April 2014

TATAKRAMA FEODALISME vs TATAKRAMA ISLAM

Dalam studi antropologi, istilah culture (budaya) dibedakan dengan istilah civilization (peradaban). Makna culture atau kebudayaan secara etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti “cultus” dan “culture”. Sementara, peradaban atau civilization berkaitan dengan kata “cives” yang berarti warganegara. Apabila budaya adalah pengaruh agama (baca: Dien) terhadap diri manusia, maka peradaban adalah pengaruh akal pada alam.

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.

Dengan kerangka seperti ini dapat digunakan untuk memprediksi karakteristik budaya Feodalis dalam kaitannya dengan sistem Islam, dan melakukan interaksi timbal-balik di dalamnya. Islam sebagai sebuah sistem penataan akan selalu ber-interaksi dengan budaya diluar Islam.

Islam memiliki sudut pandang yang berbeda tentang peradaban dan kebudayaan. Islam melihatnya dari aspek qalbu, ucapan dan laku perbuatan sekaligus. Peradaban qalbu adalah aset yang paling penting. Manusia yang membangun dan berkemajuan, yang bertaqwa, itulah yang harus diutamakan, bukan benda material hasil pembangunan itu.

Interaksi penataan Islam namun berbalut feodalisme protokoler dalam menjalankan interaksi antar sesama manusia sebagai "wujud Asli" Sistem hidup yang katanya Islami di dunia ini.....hingga saat ini.

Tentu segala upaya memurnikan membetulkan kembali Islam, benar-benar terganjal oleh benteng "tatakrama dan etika" feodalis yang telah mencelupi praktek-praktek mistis yang didogma-kan ke dalam kisah-kisah Israiliat oleh para Lasykar Yahudi (walaupun mereka akan marah jika disebut sebagai lasykar/agen Yahudi) yang telah menjadi penganut "Islamisme".

DEFINISI KASTA

Kasta dari bahasa Portugis adalah pembagian masyarakat. Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti “memilih (sebuah kelompok)”. Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya.

Islam adalah agama yg mempunyai kerangka dasar kesederajatan seluruh manusia, dari mulai bangsawan tingkat tinggi sampai gembel yg paling rendah di pandang sama, yg membedakan hanya sejauh mana seseorang melakukan pengabdian yg maksimal terhadap ajaran Allah (taqwa). Kerangka dasar Islam seperti itu.

Mari kita lihat kehidupan sosial masyarakat Islam (isme), pada kenyataannya masih banyak terjadi dalam masyarakat Islam mempraktekkan kastanisasi, seperti dalam Hindu, di dalam Islam juga contoh yg mudahnya adalah masalah perkawinan, karena memang perkawinan merupakan langkah awal bagi terjadinya segala teori hubungan sosial antar manusia. Kita ambil contoh di kalangan para habib atau syarif, jika perempuan di sebut habibah atau syarifah. Habib atau syarif adalah anak keturunan Nabi Muhammad SAW, katanya. Pernah terjadi di mekkah sana, seorang pria berdarah arab biasa mengawini seorang wanita syarifah, mereka saling mencintai. Ketika berita perkawinan di dengar oleh para pembesar habib, mereka menentang keras perkawinan tersebut sampai para ulamapun turut menyelesaikan perkaranya, kemudian perkawinan di bubarkan setelah sebelumnya pengantin pria hampir di hakimi massa, ahirnya dia memilih untuk menceraikan istrinya.

Dalam kacamata kaum Islamisme yang feodal...tidak ada tempatnya bagi seorang anak manusia dari kasta rakyat jelata "mengugat" kasta yang lebih tinggi darinya.... yaitu kasta kaum priyayi ...ajengan...pangeran...kyai...ustadz...ulama...raden dalem...dan berbagai gelar feodal yang mendompleng nama-nama tokoh pengamal Islamisme di dunia ini...

Padahal telah terjelma nyata suatu kejadian di muka bumi ini ...ketika Khalifah Umar bin Khattab pernah merayu seorang budak pengembala kambing untuk membohongi majikannya.... maka serta merta "tanpa tedeng perbedaan hirarki khalifah - budak pengembala kambing" maka si budak tersebut mengugat rayuan "top leadernya" yaitu sang khalifah.... dan kemudian dimerdeka-kanlah sang budak gembala itu atas dasar gugatan kepada khalifahnya ... dimana keberanian menggugat semacam itu benar-benar suatu indikasi dari tingginya nilai ketaqwaannya dari budak kalangan rendahan yang tidak pernah terbatasi oleh suatu halangan perbedaan tingkatan hirarki sosial.

Simbol yang katanya etika, cium tangan adalah bagian dari tradisi tatakrama Feodal. Anak-anak cium tangan ayah ibunya setiap pagi sebelum sekolah. Kepada yang lebih tua juga cium tangan... Masak feodal? Kita kan negara timur, tradisinya bukan cipika cipiki.... Risih malahan kalau cipika cipiki.... Duuuh...assosiasi feodal masak sama dengan cium tangan.... Analisanya rendah bangetttt??? Itu kebanyakan sergahan masyarakat pada umumnya jika dikatakan bahwa cium tangan adalah produk etika peninggalan Feodalisme....Yang bergaya feodal lainnya, membentak-bentak orang, memerintah seenaknya, minta dilayani dan tidak mau berbaur dengan rakyat jelata.

Apakah kita termasuk yang sering MEMBUNGKUK di hadapan orang yang LEBIH TUA, ... Apakah itu bentuk KESOPANAN dan PENGHORMATAN kepada ORANG LAIN??....

Diskriminasi inilah yang menjadi cikal-bakal semua bencana dalam kehidupan umat manusia, dan bahkan sampai hari ini tetap menjadi penyebab utama semua bencana dan malapetaka yang dialami manusia. Tidak ada kepedulian social di antara kalangan manusia, karena setiap manusia sibuk dengan urusan dan kepentingan mereka masing-masing. Kondisi inilah yang dilukiskan oleh al-Qur’an sebagai kondisi jahiliyah, serbuah zaman yang oleh para ahli sering diterjemahkan dengan “zaman kepicikan” (time of ignorance) atau “zaman kebiadaban” (time of barbarism).

Kondisi yang demikian itulah yang hendak diperbaiki Nabi melalui dakwah islamiyahnya. Nabi melihat bahwa system kehidupan bermasyarakat yang dijalani oleh bangsa Arab itu sangat bertentangan dengan system penataan Islam.
 ..................

Masalah cium tangan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama  jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.
1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.
3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).
Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.

Membungkukkan badan sebagai penghormatan

Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).
Dari uraian di atas semoga bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan.
...................

TIDAK ADA KASTA DALAM ISLAM, dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat, maka di sana tidak ada segolongan manusia lebih tinggi daripada segolongan yang lainnya. Tidak boleh harta, kedudukan, nasab atau status sosial atau apa pun menjadi penyebab sombongnya sebagian manusia atas sebagian yang lain.

Tidak ada di dalam masyarakat Islam kasta-kasta, sebagaimana hal itu dikenal dalam masyarakat Hindu, Budha dan Barat pada abad pertengahan. Di mana dikenal bahwa golongan cendikiawan dan para penunggang kuda, para uskup dan lainnya itulah yang berhak mewarisi untuk menentukan nilai, tradisi dan hukum yang berlaku.

Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa di mana kelompok tertentu berhak untuk menentukan dan mengendalikan garis ideologi bangsa tersebut, hukum-hukumnya serta sistem sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya negara India.

Di dalam Islam memang ada orang-orang kaya, akan tetapi mereka itu tidak membentuk kelompok tersendiri yang mewariskan kekayaannya. Mereka adalah individu-individu yang biasa seperti lainnya.

Di dalam Islam memang ada ulama, tetapi mereka itu tidak membentuk golongan yang mewariskan tugas tersebut. Melainkan bahwa tugas itu terbuka untuk siapa saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang keilmuan dan studi. Dia bukan merupakan tugas kependetaan seperti yang dilakukan oleh para pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan tugas mengajar, dakwah dan memberi fatwa. Mereka adalah ulama bukan pendeta.

Allah berfirman sebagai berikut:
“Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Al Ghasyiyah: 21-22)

Dalam Al quran surah Qaaf: 45 disebutkan:
“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku.”

Nabi Muhammad saw bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya ayahmu satu dan sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, serta tidak pula orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah. Yang membedakan adalah taqwanya.” (HR. Ahmad).

Rasulullah SAW hidup di tengah kaumnya, mareka dapat bertemu dan bergaul secara bebas tanpa ada protokoler seperti di sistem kenegaraan ataupun organisasi-organisasi yang ada saat ini. Bentuk penghormatan terhadap bendera juga merupakan bentuk penyerupaan orang-orang Feodal, yahudi dan nasrani. Mentaklid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi, padahal, Rasulullah SAW melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka.
....................

Rasulullah Tak Ingin Diperlakukan Lebih

Ini adalah sepenggal kisah keteladanan Rasulullah Muhammad SAW yang dikutip dari Abbas Mahmud Aqqad.  Suatu ketika di persinggahan suatu perjalanan Nabi SAW meminta sahabat-sahabatnya menyiapkan makanan dengan menyembelih seekor kambing.
Seketika itu di beberapa orang dari sahabat itu berkata, ''Wahai Rasulullah, saya yang akan menyembelih kambing.'' Yang lain mengatakan, ''Saya yang akan mengulitinya. Aku yang memasaknya,'' sahut sahabat lain tidak mau ketinggalan berbakti kepada beliau.

Nabi tersenyum mendengar perkataan dan kesediaan para sahabat itu. Lalu beliau berkata, ''Aku yang akan mengumpulkan kayu bakarnya.'' Mendengar perkataan beliau, hampir serentak para sahabat berkata, ''Wahai Rasulullah, sudahlah engkau tidak usah bekerja.''

Nabi langsung menimpali, ''Aku tahu kalian akan mencukupiku, tetapi aku membenci bila aku dilebihkan di antara kalian. Sesungguhnya Allah membenci hamba-Nya yang menginginkan diperlakukan istimewa di antara sahabat-sahabatnya.''

Demikianlah seorang pemimpin seharusnya. Setiap pemimpin perlu, bahkan harus meneladani kepemimpinan Nabi SAW. Meski sebagai pemimpin, bahkan sebaik-baiknya manusia, beliau tidak ingin dirinya terkesan khusus dari sesamanya. Perlakuan kepada pemimpin atau atasan jangan melebihi perlakukan kepada rakyat yang lain.
........................

Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.

Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab, Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.

Nabi diketahui tak pernah mengeluh meski keadaan kurang mendukung. Hatinya sangat lapang. Pernah Nabi tak medapati makanan apapun untuk sarapan di meja dapurnya. Seketika Nabi berniat puasa untuk hari itu.

Begitulah. Rasulullah tak ingin menjadi beban orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Nabi bahkan selalu memanggil Aisyah dengan sapaan mesra ”ya humaira” (wahai pemilik pipi kemerah-merahan).

Pengalaman lain yang tetap membekas di hati Aisyah adalah ”peristiwa di pagi buta”.

Suatu hari Aisyah dicengkram rasa khawatir. Hingga menjelang shubuh ia tidak menjumpai suaminya tersebut tidur di sebelahnya.

Dengan gelisah Aisyah pun mencoba berjalan keluar. Ketika pintu dibuka, Aisyah terbelalak kaget. Rasulullah sedang tidur di depan pintu.

"Mengapa Nabi tidur di sini?"

"Aku pulang larut malam. Karena khawatir mengganggu tidurmu, aku tak tega mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu," jawab Nabi.

Dengan demikian, tidak aneh, setiap Aisyah ditanya soal kepribadian Nabi, ia selalu menjawab tegas, "kana khuluquhu al-qur'an." Akhlaknya tak ubahnya al-Qur'an...

Allohumma sholli 'ala Muhammadin wa 'ala ali Muhammad..( Ya Allah hantarkanlah/sampaikanlah saya, dengan shalat ini mencapai kehidupan menurut sunnah Muhammad, yaitu kehidupan yang telah memenuhi harapan pendukung-pendukungnya, maka tetapkanlah hidup saya dengan ISLAM satu-satunya penataan hidup tiada tanding.)

Betapa mulia akhlak Rasulullah SAW... Patut dijadikan teladan oleh kita...
....................

FEODALISME PESANTREN

Islam sebagai agama yang datang sesudah Hindu dan Budha telah memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Meskipun ajaran Islam sudah mendominasi baik dari segi ajaran maupun budaya, namun ada juga beberapa kebudayaan non-Islam yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya adalah kebudayaan feodal. Memang budaya feodal saat ini tidak begitu kental (mengakar) di dalam kehidupan masyarakat jawa seperti dulu. Adapun faham feodal yang masih begitu kentara pada saat ini dapat kita lihat dalam lingkungan pesantren, terutama model pesantren klasik (tradisional).

 Pengertian

Feodalisme berasal dari kata feodal yang artinya penguasaan tanah/daerah/wilayah. Bisa berarti juga feodal adalah karakteristik hidup suatu masyarakat dengan corak (dipengaruhi) olah sifat kebangsawanan.

Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga, tetapi lebih rendah kedudukannya dan biasa disebut dengan istilah vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hierarkis yang berbentuk piramida.

Masyarakat Jawa, khususnya zaman dahulu mempunyai sikap hidup yang feodalistis. Mereka sangat hormat dengan keluarga bangsawan (orang-orang yang bertitel Raden Ayu, Raden Mas, Gusti Pangeran Haryo, dan lain-lain), terhadap abdi dalem, terlebih terhadap ingkang sinuhun. Sikap ini sampai sekarang masih cukup terasa, terutama pada lingkungan pemerintah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

 Feodalisme di pesantren

Feodalisme dalam masyarakat pesantren merupakan salah satu ciri khas sebagaimana identitas masyarakat tradisional lainnya. Feodalisme yang kental adalah pengkultusan (pengidolaan) terhadap figur seorang kyai. Dari sini terdapat keterlibatan pada pola hubungan kyai dengan santri yang vertikal. Norma tersebut melahirkan derivasi (asal muasal) yang dibangun sendiri oleh masyarakat pesantren yaitu bila tidak hormat maka tidak akan mendapatkan berkah. Dari sinilah terbangun sikap kepatuhan tanpa batas. Dalam istilahnya sami’na wa atha’na (mendengar dan mematuhi segala perintah kyai). Dengan kata lain mereka (santri) menganggap bahwa segala perkataan dan perbuatan kyai adalah benar pada wajib dipatuhi.

Superioritas kyai tersebut melahirkan karakter kepribadian individualis yang tidak mau diintervensi. Budaya feodalistik yang demikian menyebabkan kyai selalu ingin ditempatkan pada posisi superior (lebih tinggi). Superioritas kyai secara tidak sadar melahirkan karakter kepribadian individualis yang tidak mau orang lain ikut campur dan kyai cenderung tidak suka bila ada orang yang lebih tinggi di atasnya.

Karena sifat kyai yang superior maka seorang kyai cenderung tidak berkenan apabila figure baru muncul. Lebih-lebih bila figure tersebut muncul dari luar anggota keluarga. Kecenderungan lain dari kyai adalah selalu berwatak ingin menjadi pengasuh, baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren. Sehingga bila ada kondisi yang bertentangan dengan apa yang diyakini kyai, maka kyai berkehendak mengatasinya. Kepercayaan yang berlebih kerap kali melahirkan arogansi dan memancing perlawanan dari pihak lain.

Selain itu tidak ada seorang pun yang berani melawan kekuasaan dan otoritas seorang kyai yang disini berkedudukan sebagai orang yang memimpin pesantren. Otoritas kyai yang sangat kuat meinmbulkan tingkatan antara santri dan kyai. Santri tidak boleh melangkahi kyai. Hal yang demikian akan membawa dampak tertutupnya kreatifitas santri, meskipun sebetulnya mobilitas vertikal umat Islam lebih terbuka dibandingkan denga agama-agama lain.

Tampilnya figur kyai yang demikian tidak lepas dari kultur yang terbangun di dunia pesantren yang sentralistik-feodal, semua kebijakan ada di tangan kyai, para pengurus pondok sebatas eksekutor kebijakan kyai. Berbagai tata tertib dan aturan dibuat sesuai kehendak kyai tanpa adanya forum musyawarah. Maka tidak heran bila ada sebutan bahwa kyai adalah raja-raja kecil, dan tidak jarang bagi yang melanggar aturannya sering kali mendapat hukuman di luar batas pola pendidikan yang membebaskan.

 Akibat Budaya Feodal

Budaya feodal sebenarnya berasal dari negara kolonial Belanda yang diwariskan kepada bangsa Indonesia saat mereka berkuasa. Budaya feodal digunakan Belanda untuk mengatur daerah jajahannya, dan cenderung bersifat memaksakan kehendak guna memperoleh kekuasaan.

Konflik akibat sikap feodal kyai di dunia pesantren berpola sama dengan konflik perebutan pengaruh umat, yakni sama-sama berusaha melanggengkan kekuasaannya. Dalam perspektif sistem sosial, bentuk feodalisme kyai pesantren terbangun atas kultur yang sudah sejak dulu berlangsung terus-menerus sampai saat ini, dan ditopang juga dengan tidak adanya sistem suksesi kepemimpinan, karena secara individu kyai berusaha untuk mempertahankan keberadaannya dengan menjalankan watak feodal dan individual. Sikap otoriter seorang kyai seringkali muncul ketika ia menganggap sesuatu yang ada dihadapannya adalah ancaman. Maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan ancaman tersebut melalui sikap otoriternya tadi.

Perilaku feodal dapat memunculkan konflik yang bermula dari kepentingan sesama kyai, sesama pengasuh, atau sesama anak kyai dalam sebuah pesantren. Konflik kian parah ketika mereka mengikutsertakan santri agar menjadi pengikutnya. Cakupan konflik pun melebar sehingga antar pengikut saling berseteru. Jika hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan konflik yang tidak hanya kerugian harta, tapi bisa juga menelan korban jiwa.

Cara Menghilangkan Budaya Feodalisme di Pesantren

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyusun ulang pemahaman tentang sosok kyai. Perlu dipahami bahwa kyai bukanlah Nabi yang tidak memiliki salah sedikitpun. Bagaimanapun kyai adalah manusia yang tidak selamanya perkataan dan perbuatannya benar. Dengan begitu sikap mengkultuskan sosok kyai pun secara berangsur-angsur berkurang. Namun demikian bukan berarti menganggap remeh kyai, karena bagaimanapun kyai adalah sosok yang perlu ditadzimi, akan tetapi jangan terlalu berlebihan.

Kedua, perlunya forum musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk bermusyawarah dalam setiap urusan, terlebih hal-hal yang menyangkut maslahat orang banyak. Melalui musyawarah, diharapkan keputusan yang diambil bisa mengakomodir semua pihak dan tidak ada salah satu golongan atau kelompok yang tidak sepakat atau merasa dirugikan. Selain itu musyawarah juga dapat dijadikan sarana pendidikan demokrasi.

Ketiga, menumbuhkembangkan sikap egaliter. Seorang kyai yang egaliter ternyata lebih disukai santri ketimbang kyai yang otoriter. Sikap egaliter kyai mampu mendekatkan dirinya dengan santri. Dengan demikian secara otomatis sikap kekeluargaan dan kebersamaan pun akhirnya dapat terbentuk.

2 komentar:

  1. sinkronisasi dengan ta'lim muta'alim gimana

    BalasHapus
  2. Bandar Togel Terpercaya
    SITUS TOGEL TERBAIK
    AGEN TOGEL TERBAIK 2021

    AGEN TOGEL TERPERCAYA INDONESIA 2021

    Masih ragu untuk cari Situs togel online terpercaya?
    Mainkan langsung di Agen Togel Terpercaya MBO128
    Menyediakan permainan Togel dengan pasaran yang lengkap

    Untuk pendaftaran bisa langsung Klik link berikut :
    https://mbo128.com/togel

    KONTAK :
    WhastApp: 0852-2255-5128

    Minimal DEPOSIT Rp.25.000
    Minimal TARIK DANA Rp.50.000

    Transaksi bisa dilakukan melalui Via :
    • PULSA ( Telkomsel , XL – Axis ) Bisa isi dari Counter / Transfer Pulsa / Alfamart dan Indomaret TANPA POTONGAN PULSA
    • BANK ( BCA, Mandiri, BNI, BRI, Danamon, Permata,Semua Bank Nasional dan Daerah )
    • E-Money ( OVO, Dana, LinkAja, PayPro, GoPay)

    BalasHapus