Rabu, 30 April 2014

JANNAH itu bukan SURGA



Surga (disebut juga sorga) adalah suatu tempat di alam akhirat yang dipercaya oleh para penganut beberapa agama sebagai tempat berkumpulnya roh-roh manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Svarga. Dalam bahasa Jawa kata tersebut diserap menjadi Swarga. Istilah Surga dalam bahasa Arab disebut Jannah, sedangkan dalam bahasa Hokkian digunakan istilah Thian (). sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Surga

Kebanyakan ummat Islam memahami Surga = Jannah , sehingga dianggap tidak bisa diwujudkan di muka bumi. Padahal Rasul sendiri mengatakan kata jannah pada saat beliau hidup di muka bumi : "Baiti Jannati" (Rumah Tanggaku adalah Jannahku).

Jannah ada dimuka bumi, perhatikan urutan ayat berikut dalam terjemah DEPAG: QS 2:30…Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka BUMI."….terjadi dialog, sehingga pada ayat 35. Dan Kami berfirman: …uskun anta wazawjukal JANNAH…"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu SURGA/JANNAH ini.(istilah zawjuka tidak tepat diartikan istri, lihat pada QS 15:88 sebagai pembanding)…Jannah pun ada 2 jenis, jannah yang ditata oleh penataan Nur/Ilmu Allah, dan jannah yang di tata oleh penataan Dzulumat/Hawa nafsu syaithan, perhatikan terjemah DEPAG serta istilah kata Alquran nya, QS 18:32. 34:15-16 dan cermati istilah kata jannah dan karim di QS 26:57-58, gamblang sekali, Fir’aun dikeluarkan dari system penataan jannah berikut kemuliaannya.

Sayangnya, kebanyakan orang menterjemahkan menjadi 'rumahku adalah surgaku' sehingga orang berlomba-lomba mengumpulkan segenap potensinya yang terkadang menghalalkan berbagai cara untuk membangun rumah yang megah yang dianggap sebagai surga yang identik dengan materialisme.

Kesalahpahaman ini bukan terjadi dengan sendirinya, tapi memang sebuah upaya untuk memutarbalikkan kedudukan dan fungsi Alquran sebagai 'Pencerah', sehingga wajar saja kebanyakan manusia merasa tidak perlu membangun Jannah di muka bumi dengan nilai-nilai Kebaikan dan kebenaran yang bertolok ukur pada Alquran Wa Sunnaturrasul. Akibat kesalahpahaman ini maka orang tidak lagi menjadikan Alquran sebagai rujukan untuk memahami makna 'Jannah' yang sebenarnya.

Perhatikan jawaban Alquran tentang makna Jannah berdasarkan dua versi sbb :

1. Versi terjemahan Depag
wabasysyiri alladziina aamanuu wa'amiluu alshshaalihaati anna lahum jannaatin tajrii min tahtihaa al-anhaaru kullamaa ruziquu minhaa min tsamaratin rizqan qaaluu haadzaa alladzii ruziqnaa min qablu wautuu bihi mutasyaabihan walahum fiihaa azwaajun muthahharatun wahum fiihaa khaaliduuna (2:25)

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.

Mari kita kritisi terjemahan ini :
- Terbukti ketidakpahaman sang penterjemah dengan menyamakan bahasa sastra dengan bahasa gamblang, padahal 'Jannah' itu adalah sebuah istilah yang maknanya tergantung kepada yang mengeluarkan istilah tersebut, yaitu Allah melalui Alqur’an, Allah berbicara dengan menggunakan bahasa sastra (Mutasyabihat) bukan dengan bahasa biasa (Mubin). Oleh karena itu, harus dipahami bhwa setiap berbicara pasti alam dalam Alquran, sebenarnya Allah berbicara bahasa kiasan atau ungkapan tersembunyi atas kehidupan sosial budaya manusia. Contoh : fathonah terkenal panjang tangan sehingga ia sering keluar masuk bui, apakah kalimat itu bermakna si fathonah memiliki tangan yang berukuran panjang?? lalu apa kaitannya tangan berukuran panjang dengan konteks dia masuk penjara?? itulah akibat kesalahpahaman memahami bahasa kiasan.

Begitu juga halnya dengan terjemahan diatas. Apakah bahasa yang digunakan oleh Allah pada ayat trsbt mnggunakan bahasa biasa, sehingga maknanya sedangkal itu?? Bisa jadi, dari sini pula para feodal (tuan tanah) bersikap serakah untuk menyerobot kebun-kebun orang lain karena menganggap jannah=kebun, dan dari sini juga orang menjadi berpikir bhwa Jannah itu adalah identik dengan materialisme itu bagi penganut Naturalisme (paham liberal), sedangkan bagi yang berpaham idealisme menjadi stempel tentang baik dan buruknya sesuatu yang ideal menurut kepentingan tertentu sehingga dia rela menjadikan orang-orang yang bodoh menjadi korbannya, ditindas oleh penguasa fasilitas (Pemrintah & Pengusaha) karena mnjadi pengkhayal yang merasa akan mendapat Kebun / Surga di akhirat (dalam arti alam lain setelah meninggal).

Jadi kedua pola pikir ini merusak dan merugikan ummat manusia, oleh sebab itu mari kita perbaiki melalui perbaikan pola pikir.

Coba kita perhatikan, jawaban Alquran menurut versi Sunnah Rasul

" Gembirakanlah / Hiburlah mereka (dengan Alquran Wa sunnaturrasul) yang telah menyatakan beriman yaitu yang telah berbuat tepat bahwasanya untuk kehidupan mereka itu adalah seperti taman yang dialiri sejenis aliran irigasi (begitulah hal nya mukmin yang tertata dan dialiri dengan sistem pendidikan Alquran), sehingga masing-masing mereka itu adalah hidup adil makmur menurut yang demikian (kehidupan jannah=Islam) sehingga adil makmur membuahkan hasil guna , selanjutnya mereka mengatakan "inilah kehidupan adil makmur yang sebelumnya mereka telah melakukan perbaikan diri (taubat dengan rattil dan shalat) dengan yang demikian (diungkap dengan bahasa sastra /mutasyabihat), dan untuk kehidupan mereka itu didalamnya adalah partner-partner yang bersih dari motif jahat sedangkan mereka didalamnya adalah abadi (konsisten) seabadi iman (pandangan dan sikap hidup yg mereka bangun)"

Jadi, ketika Allah membicarakan taman sebagai sebuah ungkapan pasti alam sebenarnya adalah sebagai sebuah kiasan atau perumpamaan/ibarat. Coba perhatikan taman , bisa tidak jika tidak ditata diatur dibangun menjadi bersih dan rapi serta tumbuh berkembang dengan subur yang menyejukkan dan indah dipandang sehingga bisa menghasilkan berbagai jenis buah-buahan, seperti itu juga halnya mukmin. Bisa tidak membuahkan hasil yang hasanah, jika manusia tidak ditata isi hatinya, ucapan dan perbuatannya dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan Alquran wa sunnaturrasul ?

Maka wajar sajalah, segala penyimpangan dari rakyat Jelata hingga kaum elit sampai saat ini belum berakhir, karena masih terhipnotis dengan pendidikan jungkir balik yang otomatis telah menjungkir balikkan pandangan manusia tentang Al-Quran wa Sunnaturasul, salah paham inilah sebagai sumber bencana. Padahal Jannah itu adalah hasanah di dunia dan hasanah di akhirat, dunia itu dipandang dari sudut pandang Alquran adalah cermin kehidupan akhirat ( addunya mir-atul akhirat ) bahkan di dunia itulah tempat bercocok tanam iman agar menghasilkan kehidupan akhirat. ( addunya majra-atul akhirat ) apakah akhirat itu adanya di alam lain selain di bumi? padahal kata Allah, di bumi itulah kalian dihidupkan dan dimatikan serta didalamnya itu pula dibangkitkan ( fiihaa tahyauna wa fiiha tamutunna wa minha tuhrajuun ). Tidak malukah kita yg mengaku mukmin / muslim dan merasa percaya diri akan mendapatkan jannah sementara di muka bumi ini kita setengah hati untuk membangun kehidupan hasanah? jangankan mampu membangunnya, memahami peta kehidupan jannah saja kita tidak mau sepenuh hati, peta itu adalah petunjukNya yaitu Alquranu wa Sunnaturasul, sehingga maa kunta tadrimal kitabi wa lal iman = jikalau anda tak menguasai isi kitab niscaya tak ada iman, nah iman itu adalah jannah! dalam arti mereka yang beriman itulah bagaikan taman yang saling merindangkan kepuasan hidup indah ! saling memanenkan / membuahkan hasil guna buat yang membutuhkannya, seolah si mukmin itu sendiri tdk membutuhkan buahnya, dia hanya butuh tumbuh dan berkembang dan berdaya guna dengan pengairan yang tepat !, sehingga mereka indah bagaikan taman yang rapi bersih dan menyejukkan, meneduhkan! kaitkan dengan hadist nabi: sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling berdaya guna bagi manusia lainnya! coba perhatikan kondisi manusia zaman sekarang.. yang bersaing keras untuk saling merusak manusia lainnya demi kepentingan pribadinya sendiri. Mulai dari penguasa, ulama, pengusaha, dll. Apakah itu wujud jannah atau NAR?! semua ini akibat dari pemahaman tentang makna iman = percaya, kalau dianggap beriman cukup mempercayai saja, teruskanlah. A fa laa ta'qiluun ?! = apakah kalian tak menggunakan aqal sesuai dengan Al-quranu wa SunnaturrasulNya ?!
.......................

SURGA

Sebagai manusia sudah menjadi hal yang wajar apabila kita mendambakan kebahagiaan. Baik yang bersifat pribadi, keluarga maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Dalam hal ini, agama senantiasa menawarkan Surga sebagai tempat kebahagiaan yang kekal. Bagi siapa yang taat dan patuh kepada agamanya, maka akan mendapatkan Surga sebagai imbalanya, apabila telah meninggal dunia.

Wacana perihal Surga yang demikian itu adalah suatu Surga yang Ghaib atau abstrak. Sehingga karena sifatnya yang abstrak itu, maka setiap agama menggambarkan Surga sesuai dengan kepercayaan [doktrinal] yang ditanamkan kepada masing-masing pemeluknya. Ada yang menggambarkan bahwa Surga itu suatu kehidupan yang abadi, dikelilingi para bidadari [yang selalu perawan], tempat bersemayamnya para dewa. Demikian pula ada yang menyebutnya sebagai tempat tinggal [tahta singgasana] Tuhan Sang Bapa. Pendek kata, Surga benar-benar merupakan tempat [impian] kebahagiaan yang di dalamnya hanya ada kenikmatan semata [sruwa-sruwi sarwo kepenak]

Bagaimana sesungguhnya makna dan persepsi Surga bagi orang-orang yang beriman? Surga dalam konsepsi al-Qur’an [Islam] disebut al-Jannah berarti taman yang tertata rapi nan indah. Surga yang akan menjadi milik orang yang dalam hidupnya selalu taat dan patuh dengan ajaran Allah ini, digambarkan bahwa di bawahnya senantiasa mengalir aneka sungai [min tahtihal-anhar]. Sehingga taman kebahagiaan tersebut merupakan taman yang subur dan menyejukkan. Siapapun yang tinggal di dalamnya tentu akan menuai kepuasan. Pohon-pohon yang ada di Surga adalah merupakan perwujudan dari kalimat thayibat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke angkasa raya [asluha tsabitun wa far ‘uha fi as-sama’].

Gambaran secara fisik tersebut, menurut teori sastra al-Qur’an, perlu dilihat arti metaforisnya [wajhu sabhin], agar dapat membantu kita dalam memahami makna Sorga [al-Jannah] yang sebenarnya. Apabila pohon-pohon yang ada di Surga tersebut menggambarkan masing-masing figur [sosok] orang beriman yang hidup di dalamnya, maka antara phon yang satu dengan yang lainnya akan saling merindangkan panen. Juga saling menghidangkan hasil karyanya satu sama lain. Pohon mangga akan memberikan bangganya, pohon rambutan akan menghadiahkan rambutannya, demikian pula pohon-pohon lainnya. Inilah gambaran kehidupan masyarakat Surga yang demikian indah, adil dan saling memakmurkan, gemah ripah loh-jinawi, tata titi tentrem kerta raharjo, murah kang sarwo tinuku lan thukul kang sarwa tinandur [jawa]. Semua itu ditunjang oleh suatu sistem ekonomi yang senantiasa dapat memenuhi seluruh hajat hidup orang banyak dan terdistribusinya dengan lancar seperti halnya aliran aneka sungai yang selalu mengalir di bawah Surga.

Kalau kita perhatikan lebih cermat, maka ternyata Surga yang dijanjikan Allah tersebut berujud ganda. Yakni selain Surga yang ada di akhirat kelak juga ada Surga di dunia inil. Hal tersebut tergambar jelas dalam do’a sapu jagad yang sering kita panjatkan. Rabbana aatina fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qiina ‘adzaban naar. Surga dunia [fidunya hasanah] adalah dunia yang baik dan indah yakni Madinatul-Munawwarah. Suatu “negara kota” yang gilang gemilang karenada dilandasi oleh cahaya al-Qur’an-Sunnah-Rasul. Adapun Surga akhirat [fil-akhirati hasanah], adalah Surga yang dijanjikan Alla apabila si Mukmin telah meninggal dunia, sebagai balasan atas segala amal ibadahnya. Jadi Surga akhirat adalah merupakan konsekuensi logis dari Surga dunia, karena dunia adalah cerminan akhirat [Ad-dunya mir’atul akhirah].

Bukti lain yang menunjukkan bahwa selain di akhirat Surga juga ada di dunia ini, antara lain adalah sabda Rasulullah saw ... “rumahku adalah Surgaku” [baiti jannati], demikian pula “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu”[al-Jannatu tahta aqdamil-umahat.. Bukankah rumah tangga Rasulullah itu berada di dunia kita ini juga? Begitu pula jejak langkah kaum ibu di dunia ini sangat menentukan kebahagiaan sebuah kehidupan. Hal ini terutama ditegaskan oleh Rasulullah saw .. bahwa wanita itu tuang negara [an-nisaa’u ‘imaadul bilad].

Surga dunia sebagaimana tercermin dalam Madinatul Munawwarah telah dicapai oleh Rasulullah saw. Dan para sahabatnya melalui “jalan yang lurus” [Shirathalmustaqim]. Yaitu suatu sistem jalan kehidupan Islam secara total [kaffah] yang diraih dengan cara merevolusikan masyarakat dari kegelapan jahiliyah [dzulumat] menuju pencerahan ilmiyah [an-Nur], [Q.S. al-Baqarah: 257]. Surga yang seperti digambarkan tersebut bukan Surga yang jatuh begitu saja dari langit, akan tetapi suatu Surga yang harus diraih melalui perjuangan fisik [jihad], perjuangan mental [mujahadah] maupun perjuangan intelektual [ijtihad].

Dengan melalui kegiatan dakwah yang giat [intensif], mangkus [efektif] dan sangkil [efisien], Rasulullah saw. Telah berhasil membangun “Surga” di dunia. Sebuah revolusi kebudayaan paling cepat dalam sejarah. Hanya dalam tempo kurang dari seperempat abad [23 tahun], padang pasir gersang dan gunung-gunung batu yang keras lagi tandus telah berubah menjadi Surga. Yakni membebaskan manusia dari peradaban yang gelap gulita [dark ages] menuju peradaban yang terang benderang [enlightenment] disinari oleh cahaya ilahi [al-Qur’an] melalui tauladan hidup Rasulullah.

Untuk mencapai kondisi tersebut, berapakah harga yang harus dibayarkan? Yang pasti, harga sebuah Surga tidaklah murah. Menurut Allah bagi setiap mukmin [para pendukung cita-cita surgawi] haruslah mau menyerahkan diri dan hartanya sekaligus [anfusahum wa amwalahum] untuk ditukar dengan al-Jannah. Dan proses transaksinya harus diperjuangkan mati-matian sehingga setiap mukmin harus senantiasa siap tempur [ready use to combat] dalam rangka meraih dan mempertahankan Surga [yuqaatiluuna fi sabilillah fayaqtuluuna wayuqtaluun]. Harga inilah yang diminta Allah sebagaimana tersirat di dalam semua kitab suci, baik at-Taurat, al-Injil, maupun al-Qur’an. [Q.S. at-Taubah:111].

Apa makna dari semua itu? Dengan dibayarkannya “diri” dan “harta” mukmin kepada Allah, maka berarti simukmin tersebut telah menyerahkan “ego”, ke-aku-annya dan hartanya menjadi milik Allah. Sehingga dengan demikian, setiap mukmin menyerahkan seluruh hidupnya untuk dikelola oleh Allah. Dengan kata lain, setiap orang yang menyatakan dirinya mukmin sudah semestinya mau dan rela sepenuh hati untuk hidup hanya menurut kehendak Allah. Mukmin yang demikian itulah mukmin yang haq, mukmin yang menjadi pohon-pohon Surga, yang dari benih iman-nya telah tumbuh menjadi pohon yang kokoh kuat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke angkasa raya serta berbuah di sepanjang musim [Q.S. Ibrahim:24].

Pohon tersebut selalu menghidangkan panen zakat, infaq, dan sadaqah bati kemakmuran dan keadilan kehidupan. Aroma buahnya menciptakan ketenteraman dan kebahagiaan hidup tiada tara. Demikianlah Surga yang menjadi dambaan setiap insan. Sebuah model kehidupan, yang selain membahagiakan sekaligus juga menyehatkan. Ibarat manisnya madu yang selain lezat nikmat juga menyehatkan [Q.S. an-Nahl: 68, 69]. Itulah yang terjadi hampir hampir satu setengah milinium yang lampau di dalam masyarakat Madinatul Munawwarah, “negara kota” yang bermandikan cahaya Ilahi dengan tauladan indah para Nabi, yang kelak nantinya merupakan panen di akhirat [ad-dunya mazra’atul akhirah]. Singkatnya, suatu masyarakat dimana telinga kita belum pernah mendengar, mata belum pernah melihat, hati belum pernah merasai, Masyarakat mukmin yang seperti itulah, masyarakat di mana pandangan dan sikap hidupnya berdasar kalimat thayyibat, [al-Qur’an –Sunnah-Rasul], yang akan memperoleh Surga yang dijanjikan.
...........................

Yahudi dan bani Israil adalah makhluk Allah yang dikaruniai kemampuan lebih hebat dibanding dengan ummat lainnya oleh karena Allah terus menerus menurunkan Ilmu-NYA didalam pangkuan bangsa mereka selama 2000 tahun. Mereka tidak mengakui keRasulan Muhammad, salahsatu nya, karena garis keturunan Rasul SAW dari pembantu/selir nya nabi Ibrahim, Hajar, ibunda nya nabi Ismail. Bukan dari garis keturunan nabi Ishaq, nenek moyangnya Yahudi (katanya, kata mereka).

Apakah pemikiran dan kehidupan IPOLEKSOSBUD mereka yang begitu ILMIAH, yang dimiliki Yahudi persaat ini hasil dari pemikiran pribadi-pribadi mereka ataukah hasil dari nyolong ILMU yang sudah 2000 tahun lebih mereka rekam dari kitab-kitab yang Allah turunkan termasuk AlQuran? (QS 18:9, Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim...). Wajar saja Yahudi dan antek-anteknya bisa menguasai sejarah peradaban dunia sejak khalifah Ali wafat, ternyata mereka menguasai ilmu Allah tapi menyalahgunakannya menurut ambisi pribadinya dan golongannya saja! Bahkan bangsa yang tersingkir dalam percaturan dunia atau peradaban rimba, baik itu peradaban teknologi maupun agamanya, hanya dieksport dan dicekoki ajaran takhayul (khayalan), yang hanya bisa berkhayal besar tanpa kerja keras secara ilmiah! Dibuatkan film-film kolosal yang khayali agar pemikiran takhayul mereka semakin dibuat subur termindset dalam otak orang islam persaat ini.


Dimana korelasi serta relevansi-nya dengan realita kehidupan sosial secara kongkrit, berbagai cerita tentang : pahala, surga, dosa, neraka, keajaiban menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta, membelah laut, tongkat menjadi ular, melunakkan besi, bicara dengan hewan, memindahkan istana megah dalam sekejapan mata, rambut di belah tujuh, membelah dada orang lalu mencuci hatinya, dll. Kaidah mana yang sesat menyesatkan? Apakah pemikiran yang penuh khayal? Ataukah kaidah Ilmiah yang sesuai dengan proses kejadian alam?

Pikiran manusia tidak akan menerima ide yang tidak masuk akal, kecuali manusia menerima lebih dulu konsep yang dinamakan “mu’jizat” (kejadian ajaib atas kuasa Tuhan). Konsep mu’jizat atau miracle dipopulerkan oleh Yahudi dan Nasrani melalui kisah-kisah para nabi dalam kitab perjanjian lama dan perjanjian baru. Mereka memperkenalkan konsep ini kepada bangsa Arab dengan istilah dalam bahasa Arab : “mu’jizat”. Maka, bila manusia sudah menerima/percaya dengan konsep mu’jizat, . . cerita ajaib apapun akan mudah diterima. Termasuk anak yang lahir dari seorang perawan . . dipandang sebagai mu’jizat.

Allah dengan melalui ILMU-NYA, ALQURAN, tidak pernah bikin dongeng, yang membikin ajaran Allah menjadi dongeng adalah distorsi pada perspektif atau sudut memandang manusia dalam menafsirkan ayat-ayatnya sehingga menjadi dongeng.

Mereka mengetahui rahasia AlQuran sebagaimana mereka mengetahui tanda dalam tubuh maupun kepribadian anak-anak kandung mereka sendiri. QS 2: 146, Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad (yakni dengan ajaran-NYA, ALQURAN) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.

QS 12:111, Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Setiap kali Allah menurunkan satu Kitab, sebagian Yahudi selalu meng-Kadzdzaba (mendustakan Ilmu/meng aduk-aduk/melacur Ilmu) ajaran Allah. Ini yang perlu kita catat dan cam-kan, pelacuran Ilmu (kadzdzaba) Yahudi di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia sehingga ummat manusia di seantero dunia, sepanjang zaman, sepeninggal para nabi selalu terjerumus kedalam kehidupan Syar, saling baku hantam sesamanya.

Bagaimanakah dengan AlQuran sepeninggal nabi Muhammad? QS 15/Al-Hijr: 9 menegaskan, INNA NAHNU NAZALNAADZIKRA WA INNAA LAHU LAHAAFIZHUN, Allah menjamin tulisan AlQuran akan tetap terjaga sampai akhir zaman. Namun bagaimana dengan penggunaan pilihan kata terjemahan nominal sehingga mempengaruhi didalam pemaknaan yang terkandung di dalam tulisan AlQuran sepeninggal nabi Muhammad? Salah menterjemahkan nominal kata maka akan salah memaknai, maka salah pula didalam mempraktekkannya.

AlQuran datang dari Arab, kita sedang apa dan bagaimana, situasi dan kondisi ketika kedatangan AlQuran dari Arab pada abad ke 7, di Indonesia sedang apa? Dan di Arab pun sedang terjadi seperti apa kondisi nya pada saat AlQuran diperkenalkan keluar dan sampai ke Indonesia. Kita sudah sama-sama sepakat bahwa Teks bahasa Alquran tidak pernah ada perubahan dari sejak awal nabi SAW, seperti yang disebutkan pada ayat diatas, tetapi didalam menterjemahkan istilah kata dalam Alquran itulah yang perlu di kaji ulang, apakah ada pembelokkan-pembelokkan istilah kata yang di ambil sehingga makna nya menjadi lain dan otomatis pelaksanaannya pun menjadi salah. (https://www.facebook.com/notes/muhajir-isnaini/latar-belakang-bangsa-indonesia/837039783015281)

Artikel terkait:
Khalifah

Merubah mindset khayal kepada mindset ilmiah:

5 komentar:

  1. Surga-Neraka Itu Ajaran Hindu

    Sekali lagi saya tegaskan bahwa konsep dan ajaran surga-neraka itu adalah ajaran Hindu, bukan Islam, Kristen, Yahudi dan lainnya. Ini "Kuliah Virtual" yang ke-4 yang membahas tentang konsep surga dan neraka. Konsep ini kemudian kelak dilanjutkan oleh Buddhisme dan Jainisme, sebagai sesama rumpun "Agama India".

    Kitab Suci yang secara jelas dan eksplisit membicarakan tentang seluk-beluk surga-neraka ini adalah Kitab Weda (Veda), bukan Al-Qur'an, Talmud, ataupun Injil. Oleh karena itu, idealnya atau seharusnya yang paling berhak dan otoritatif menjelaskan "surga-neraka" itu adalah umat Hindu, bukan kaum Muslim maupun Kristen.

    Ingat, Al-Qur'an tidak mengenal kata dan konsep "surga-neraka", melainkan "jannah-nar". Oleh karena itu, masyarakat Arab Muslim juga tidak mengenal kata "surga-neraka" ini. Kata Arab "jannah-nar" inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi "surga-neraka" yang menurutku tidak tepat dan perlu direvisi. Menariknya, dalam tradisi Buddhisme juga mengenal kata "jhana".

    Padahal, secara konseptual dan filosofi, kata "jannah-nar" dalam Al-Qur'an berbeda dengan kata "svarga-naraka" dalam Kitab Veda. Seperti saya jelaskan sebelumnya, kata surga-neraka dalam Bahasa Indonesia itu jelas diambil dari kata "swarga / svarga-naraka" dalam Bahasa Sanskrit yang dipakai dalam Kitab Suci Veda (Weda Samhita) tersebut.

    Bahasa Sanskrit ini masih dipakai dalam acara-acara ritual keagamaan Hindu, selain penulisan susastra Hindu. Tetapi dalam komunikasi sehari-hari, masyarakat India kontemporer menggunakan Bahasa Hindi yang merupakan turunan dari Sanskrit dan merupakan salah satu rumpun Bahasan Hindustan (bersama Urdu yang dipakai di Pakistan). Istilah Sanskrit ini konon diperkenalkan atau dipopulerkan oleh Maharsi Panini di abad ke-6 SM. Sebelumnya, konon disebut "Daivivak" yang berarti "bahasa atau sabda Dewa".

    Nasib Bahasa Sanskrit ini seperti Bahasa Arab klasik (disebut fushah) yang dipakai dalam penulisan Al-Qur'an. Masyarakat Arab modern hanya menggunakan fushah ini dalam ritual-ritual keagamaan atau penulisan buku-buku keislaman. Sementara dalam komunikasi sehari-hari, mereka menggunakan "Bahasa Arab pasar" (amiyah).

    Kitab Suci Veda adalah salah satu kitab agung di dunia. Bahkan oleh para ahli kajian agama-agama kuno India seperti Maurice Bloomfield (dalam bukunya "The Religion of the Veda") atau Maurice Winternitz (dalam "A History of Indian Literature"), Kitab Veda ini dianggap sebagai monumen dan susastra tertua di dunia serta dokumen historis tertua di "dunia timur".

    Kata "Veda" ini berarti "ilmu pengetahuan suci dan kekal abadi" karena bersumber dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci ini juga disebut dengan "Sruti" yang bermakna bahwa kitab ini adalah sebuah wahyu Tuhan yang diterima melalui pendengaran suci dan ketajaman intuisi para maha Rsi.

    Jadi, sekali lagi, konsep surga-neraka ini jelas bersumber dari ajaran Hindu Dharma. Hinduisme (juga Budhisme) memang pernah berjaya di Nusantara. Oleh karena itu sangat wajar jika banyak sekali kata, filosofi, konsep, kebudayaan, dan ritual keagamaan Islam di Indonesia modern saat ini yang dipengaruhi oleh tradisi dan filosofi Hinduisme dan Budhisme seperti konsep surga-neraka ini.

    #SurgaNerakaAjaranHindu
    #sumantoalqurtuby

    BalasHapus
  2. Penghuni jannah semuanya berusia muda sebaya, berkisar 30 tahunan...

    Manusia yang fikirannya selalu dicerdaskan dengan pandangan hidup yg terus meluas, tidak akan sanggup lagi hidup di alam mitos dan dunia nenek moyang.

    Maka itulah, penghuni jannah adalah orang2 yang berfikir jauh ke depan, inovatif dan cerdas dengan mendasarkan cakrawala pandang dan sikap hidupnya sesuai ajaranNYA yg agung tiada tanding tiada banding. Sehingga semua (penghuni jannah) bagai berusia gadis, meskipun usianya bukan lagi gadis. Namun pemikirannya visioner, revolusioner dan inovatif... ��

    *begitukah kemungkinan maksud sebuah hadits yg pernah sy dengar ttg usia penghuni surga?*

    Ah... jadi ingin selalu muda... wkwkwk

    BalasHapus
  3. Bentuk kehidupan di surga justru bisa diikhtiarkan dan terwujud saat kita masih hidup di dunia. Bukan saat manusia sdh mati/wafat...

    Rasulullãh Muhammad s.a.w pernah menyampaikan bahwa "baitiy jannatiy" = rumahku jannahku/surgaku. Beliau menyampaikan hal tersebut saat masih hidup atau setelah wafat...? Tentulah saat beliau masih hidup...

    Jadi, jangan hanya berharap-harap cemas tentang surga saat nanti setelah mati, bahkan tak tau pasti bentuknya spt apa. Justru jannah harus diikhtiarkan saat manusia masih hidup di dunia, dengan cara menjalani hidup sesuai konsep hidup dari Pemilik Hidup yaitu AlQuraan.

    Berquraan dengan mempelajarinya dilanjutkan dengan memahami kandungan makna bahasaNYA, adalah satu2nya jalan membangun kehidupan surga di dunia. Tidak ada cara lain....☺

    BalasHapus
  4. Ulasan Objective Ilmiah....(Jempol..)

    BalasHapus