Dalam
studi antropologi, istilah culture (budaya) dibedakan dengan istilah
civilization (peradaban). Makna culture atau kebudayaan secara
etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti
“cultus” dan “culture”. Sementara, peradaban atau civilization berkaitan
dengan kata “cives” yang berarti warganegara. Apabila budaya adalah
pengaruh agama (baca: Dien) terhadap diri manusia, maka peradaban adalah
pengaruh akal pada alam.
Sistem kebudayaan terdiri atas
nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses
kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik
suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya
langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan
masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.
Dengan
kerangka seperti ini dapat digunakan untuk memprediksi karakteristik
budaya Feodalis dalam kaitannya dengan sistem Islam, dan melakukan
interaksi timbal-balik di dalamnya. Islam sebagai sebuah sistem penataan
akan selalu ber-interaksi dengan budaya diluar Islam.
Islam
memiliki sudut pandang yang berbeda tentang peradaban dan kebudayaan.
Islam melihatnya dari aspek qalbu, ucapan dan laku perbuatan sekaligus.
Peradaban qalbu adalah aset yang paling penting. Manusia yang membangun
dan berkemajuan, yang bertaqwa, itulah yang harus diutamakan, bukan
benda material hasil pembangunan itu.
Interaksi penataan
Islam namun berbalut feodalisme protokoler dalam menjalankan interaksi
antar sesama manusia sebagai "wujud Asli" Sistem hidup yang katanya
Islami di dunia ini.....hingga saat ini.
Tentu segala
upaya memurnikan membetulkan kembali Islam, benar-benar terganjal oleh
benteng "tatakrama dan etika" feodalis yang telah mencelupi
praktek-praktek mistis yang didogma-kan ke dalam kisah-kisah Israiliat
oleh para Lasykar Yahudi (walaupun mereka akan marah jika disebut
sebagai lasykar/agen Yahudi) yang telah menjadi penganut "Islamisme".
DEFINISI KASTA
Kasta
dari bahasa Portugis adalah pembagian masyarakat. Dalam agama Hindu,
istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata
Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti “memilih (sebuah
kelompok)”. Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai
dengan pekerjaannya.
Islam adalah agama yg mempunyai
kerangka dasar kesederajatan seluruh manusia, dari mulai bangsawan
tingkat tinggi sampai gembel yg paling rendah di pandang sama, yg
membedakan hanya sejauh mana seseorang melakukan pengabdian yg maksimal
terhadap ajaran Allah (taqwa). Kerangka dasar Islam seperti itu.
Mari kita lihat kehidupan sosial masyarakat Islam (isme), pada kenyataannya masih banyak terjadi dalam masyarakat Islam mempraktekkan kastanisasi, seperti dalam Hindu,
di dalam Islam juga contoh yg mudahnya adalah masalah perkawinan,
karena memang perkawinan merupakan langkah awal bagi terjadinya segala
teori hubungan sosial antar manusia. Kita ambil contoh di kalangan para
habib atau syarif, jika perempuan di sebut habibah atau syarifah. Habib
atau syarif adalah anak keturunan Nabi Muhammad SAW, katanya. Pernah
terjadi di mekkah sana, seorang pria berdarah arab biasa mengawini
seorang wanita syarifah, mereka saling mencintai. Ketika berita
perkawinan di dengar oleh para pembesar habib, mereka menentang keras
perkawinan tersebut sampai para ulamapun turut menyelesaikan perkaranya,
kemudian perkawinan di bubarkan setelah sebelumnya pengantin pria
hampir di hakimi massa, ahirnya dia memilih untuk menceraikan istrinya.
Dalam
kacamata kaum Islamisme yang feodal...tidak ada tempatnya bagi seorang
anak manusia dari kasta rakyat jelata "mengugat" kasta yang lebih tinggi
darinya.... yaitu kasta kaum priyayi
...ajengan...pangeran...kyai...ustadz...ulama...raden dalem...dan
berbagai gelar feodal yang mendompleng nama-nama tokoh pengamal
Islamisme di dunia ini...
Padahal telah terjelma nyata
suatu kejadian di muka bumi ini ...ketika Khalifah Umar bin Khattab
pernah merayu seorang budak pengembala kambing untuk membohongi
majikannya.... maka serta merta "tanpa tedeng perbedaan hirarki khalifah
- budak pengembala kambing" maka si budak tersebut mengugat rayuan "top
leadernya" yaitu sang khalifah.... dan kemudian dimerdeka-kanlah sang
budak gembala itu atas dasar gugatan kepada khalifahnya ... dimana
keberanian menggugat semacam itu benar-benar suatu indikasi dari
tingginya nilai ketaqwaannya dari budak kalangan rendahan yang tidak
pernah terbatasi oleh suatu halangan perbedaan tingkatan hirarki sosial.
Simbol
yang katanya etika, cium tangan adalah bagian dari tradisi tatakrama
Feodal. Anak-anak cium tangan ayah ibunya setiap pagi sebelum sekolah.
Kepada yang lebih tua juga cium tangan... Masak feodal? Kita kan negara
timur, tradisinya bukan cipika cipiki.... Risih malahan kalau cipika
cipiki.... Duuuh...assosiasi feodal masak sama dengan cium tangan....
Analisanya rendah bangetttt??? Itu kebanyakan sergahan masyarakat pada
umumnya jika dikatakan bahwa cium tangan adalah produk etika peninggalan
Feodalisme....Yang bergaya feodal lainnya, membentak-bentak orang,
memerintah seenaknya, minta dilayani dan tidak mau berbaur dengan rakyat
jelata.
Apakah kita termasuk yang sering MEMBUNGKUK di
hadapan orang yang LEBIH TUA, ... Apakah itu bentuk KESOPANAN dan
PENGHORMATAN kepada ORANG LAIN??....
Diskriminasi inilah
yang menjadi cikal-bakal semua bencana dalam kehidupan umat manusia, dan
bahkan sampai hari ini tetap menjadi penyebab utama semua bencana dan
malapetaka yang dialami manusia. Tidak ada kepedulian social di antara
kalangan manusia, karena setiap manusia sibuk dengan urusan dan
kepentingan mereka masing-masing. Kondisi inilah yang dilukiskan oleh
al-Qur’an sebagai kondisi jahiliyah, serbuah zaman yang oleh para ahli
sering diterjemahkan dengan “zaman kepicikan” (time of ignorance) atau
“zaman kebiadaban” (time of barbarism).
Kondisi yang
demikian itulah yang hendak diperbaiki Nabi melalui dakwah islamiyahnya.
Nabi melihat bahwa system kehidupan bermasyarakat yang dijalani oleh
bangsa Arab itu sangat bertentangan dengan system penataan Islam.
..................
Masalah cium tangan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang
cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf
yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari
Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang
ulama jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.
1. Cium tangan
tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai
terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid
terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini
dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para
shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan
yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan
kaedah-kaedah fiqh.
2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan
ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta
menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada
sebagai kyai.
3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya
sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan
adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi.
Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya
sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah
diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu
amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah
Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).
Akan tetapi perlu kita
tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut
adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.
Membungkukkan badan sebagai penghormatan
Dari
Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah
sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”.
Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami
boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh.
Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no
3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).
Dari uraian di atas semoga
bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat
Islam dan yang tidak diperbolehkan.
...................
TIDAK
ADA KASTA DALAM ISLAM, dalam Islam meliputi seluruh golongan
masyarakat, maka di sana tidak ada segolongan manusia lebih tinggi
daripada segolongan yang lainnya. Tidak boleh harta, kedudukan, nasab
atau status sosial atau apa pun menjadi penyebab sombongnya sebagian
manusia atas sebagian yang lain.
Tidak ada di dalam
masyarakat Islam kasta-kasta, sebagaimana hal itu dikenal dalam
masyarakat Hindu, Budha dan Barat pada abad pertengahan. Di mana dikenal
bahwa golongan cendikiawan dan para penunggang kuda, para uskup dan
lainnya itulah yang berhak mewarisi untuk menentukan nilai, tradisi dan
hukum yang berlaku.
Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa di mana kelompok tertentu berhak untuk menentukan dan mengendalikan garis ideologi bangsa tersebut, hukum-hukumnya serta sistem sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya negara India.
Di
dalam Islam memang ada orang-orang kaya, akan tetapi mereka itu tidak
membentuk kelompok tersendiri yang mewariskan kekayaannya. Mereka adalah
individu-individu yang biasa seperti lainnya.
Di dalam
Islam memang ada ulama, tetapi mereka itu tidak membentuk golongan yang
mewariskan tugas tersebut. Melainkan bahwa tugas itu terbuka untuk siapa
saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang keilmuan dan studi.
Dia bukan merupakan tugas kependetaan seperti yang dilakukan oleh para
pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan tugas mengajar,
dakwah dan memberi fatwa. Mereka adalah ulama bukan pendeta.
Allah berfirman sebagai berikut:
“Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Al Ghasyiyah: 21-22)
Dalam Al quran surah Qaaf: 45 disebutkan:
“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku.”
Nabi
Muhammad saw bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya ayahmu satu dan
sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan orang Arab
atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, serta tidak pula
orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah. Yang membedakan
adalah taqwanya.” (HR. Ahmad).
Rasulullah SAW hidup di tengah kaumnya, mareka dapat bertemu dan bergaul secara bebas tanpa ada protokoler
seperti di sistem kenegaraan ataupun organisasi-organisasi yang ada
saat ini. Bentuk penghormatan terhadap bendera juga merupakan bentuk
penyerupaan orang-orang Feodal, yahudi dan nasrani. Mentaklid
(mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap
berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi,
padahal, Rasulullah SAW melarang kita berlaku sama seperti mereka atau
menyerupai mereka.
....................
Rasulullah Tak Ingin Diperlakukan Lebih
Ini
adalah sepenggal kisah keteladanan Rasulullah Muhammad SAW yang dikutip
dari Abbas Mahmud Aqqad. Suatu ketika di persinggahan suatu perjalanan
Nabi SAW meminta sahabat-sahabatnya menyiapkan makanan dengan
menyembelih seekor kambing.
Seketika itu di beberapa orang dari
sahabat itu berkata, ''Wahai Rasulullah, saya yang akan menyembelih
kambing.'' Yang lain mengatakan, ''Saya yang akan mengulitinya. Aku yang
memasaknya,'' sahut sahabat lain tidak mau ketinggalan berbakti kepada
beliau.
Nabi tersenyum mendengar perkataan dan kesediaan
para sahabat itu. Lalu beliau berkata, ''Aku yang akan mengumpulkan kayu
bakarnya.'' Mendengar perkataan beliau, hampir serentak para sahabat
berkata, ''Wahai Rasulullah, sudahlah engkau tidak usah bekerja.''
Nabi
langsung menimpali, ''Aku tahu kalian akan mencukupiku, tetapi aku
membenci bila aku dilebihkan di antara kalian. Sesungguhnya Allah
membenci hamba-Nya yang menginginkan diperlakukan istimewa di antara
sahabat-sahabatnya.''
Demikianlah seorang
pemimpin seharusnya. Setiap pemimpin perlu, bahkan harus meneladani
kepemimpinan Nabi SAW. Meski sebagai pemimpin, bahkan sebaik-baiknya
manusia, beliau tidak ingin dirinya terkesan khusus dari sesamanya.
Perlakuan kepada pemimpin atau atasan jangan melebihi perlakukan kepada
rakyat yang lain.
........................
Ketika
orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki
harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias
tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi,
kian merunduk”.
Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya.
Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan
memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau
untuk berdakwah dan mengurus umat.
Urwah bertanya kepada
‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah
menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang
dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya,
menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan
Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata
Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang
menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk
mengerjakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya
tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab, Beliau selalu membantu pekerjaan
keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk
melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang
mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri
sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.
Nabi
diketahui tak pernah mengeluh meski keadaan kurang mendukung. Hatinya
sangat lapang. Pernah Nabi tak medapati makanan apapun untuk sarapan di
meja dapurnya. Seketika Nabi berniat puasa untuk hari itu.
Begitulah.
Rasulullah tak ingin menjadi beban orang lain, termasuk keluarganya
sendiri. Nabi bahkan selalu memanggil Aisyah dengan sapaan mesra ”ya
humaira” (wahai pemilik pipi kemerah-merahan).
Pengalaman lain yang tetap membekas di hati Aisyah adalah ”peristiwa di pagi buta”.
Suatu hari Aisyah dicengkram rasa khawatir. Hingga menjelang shubuh ia tidak menjumpai suaminya tersebut tidur di sebelahnya.
Dengan
gelisah Aisyah pun mencoba berjalan keluar. Ketika pintu dibuka, Aisyah
terbelalak kaget. Rasulullah sedang tidur di depan pintu.
"Mengapa Nabi tidur di sini?"
"Aku
pulang larut malam. Karena khawatir mengganggu tidurmu, aku tak tega
mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu," jawab Nabi.
Dengan demikian, tidak aneh, setiap Aisyah ditanya soal kepribadian Nabi, ia selalu menjawab tegas, "kana khuluquhu al-qur'an." Akhlaknya tak ubahnya al-Qur'an...
Allohumma sholli 'ala Muhammadin wa 'ala ali Muhammad..( Ya Allah hantarkanlah/sampaikanlah saya, dengan shalat ini mencapai kehidupan menurut sunnah Muhammad,
yaitu kehidupan yang telah memenuhi harapan pendukung-pendukungnya,
maka tetapkanlah hidup saya dengan ISLAM satu-satunya penataan hidup
tiada tanding.)
Betapa mulia akhlak Rasulullah SAW... Patut dijadikan teladan oleh kita...
....................
FEODALISME PESANTREN
Islam
sebagai agama yang datang sesudah Hindu dan Budha telah memberikan
perubahan yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Jawa.
Meskipun ajaran Islam sudah mendominasi baik dari segi ajaran maupun
budaya, namun ada juga beberapa kebudayaan non-Islam yang masih
melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya adalah kebudayaan
feodal. Memang budaya feodal saat ini tidak begitu kental (mengakar) di dalam kehidupan masyarakat jawa seperti dulu. Adapun faham feodal yang masih begitu kentara pada saat ini dapat kita lihat dalam lingkungan pesantren, terutama model pesantren klasik (tradisional).
Pengertian
Feodalisme
berasal dari kata feodal yang artinya penguasaan tanah/daerah/wilayah.
Bisa berarti juga feodal adalah karakteristik hidup suatu masyarakat
dengan corak (dipengaruhi) olah sifat kebangsawanan.
Feodalisme
adalah sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin, yang biasanya
seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari
kalangan bangsawan juga, tetapi lebih rendah kedudukannya dan biasa
disebut dengan istilah vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada
tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya juga mempunyai anak
buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan
begitu muncul struktur hierarkis yang berbentuk piramida.
Masyarakat
Jawa, khususnya zaman dahulu mempunyai sikap hidup yang feodalistis.
Mereka sangat hormat dengan keluarga bangsawan (orang-orang yang
bertitel Raden Ayu, Raden Mas, Gusti Pangeran Haryo, dan lain-lain),
terhadap abdi dalem, terlebih terhadap ingkang sinuhun. Sikap ini sampai
sekarang masih cukup terasa, terutama pada lingkungan pemerintah di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Feodalisme di pesantren
Feodalisme dalam masyarakat pesantren merupakan salah satu ciri khas sebagaimana identitas masyarakat tradisional lainnya. Feodalisme yang kental adalah pengkultusan (pengidolaan) terhadap figur seorang kyai. Dari
sini terdapat keterlibatan pada pola hubungan kyai dengan santri yang
vertikal. Norma tersebut melahirkan derivasi (asal muasal) yang dibangun
sendiri oleh masyarakat pesantren yaitu bila tidak hormat maka tidak
akan mendapatkan berkah. Dari sinilah terbangun sikap kepatuhan tanpa batas.
Dalam istilahnya sami’na wa atha’na (mendengar dan mematuhi segala
perintah kyai). Dengan kata lain mereka (santri) menganggap bahwa segala
perkataan dan perbuatan kyai adalah benar pada wajib dipatuhi.
Superioritas kyai tersebut melahirkan karakter kepribadian individualis yang tidak mau diintervensi.
Budaya feodalistik yang demikian menyebabkan kyai selalu ingin
ditempatkan pada posisi superior (lebih tinggi). Superioritas kyai
secara tidak sadar melahirkan karakter kepribadian individualis yang
tidak mau orang lain ikut campur dan kyai cenderung tidak suka bila ada orang yang lebih tinggi di atasnya.
Karena sifat kyai yang superior maka seorang kyai cenderung tidak berkenan apabila figure baru muncul.
Lebih-lebih bila figure tersebut muncul dari luar anggota keluarga.
Kecenderungan lain dari kyai adalah selalu berwatak ingin menjadi
pengasuh, baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren.
Sehingga bila ada kondisi yang bertentangan dengan apa yang diyakini
kyai, maka kyai berkehendak mengatasinya. Kepercayaan yang berlebih kerap kali melahirkan arogansi dan memancing perlawanan dari pihak lain.
Selain
itu tidak ada seorang pun yang berani melawan kekuasaan dan otoritas
seorang kyai yang disini berkedudukan sebagai orang yang memimpin
pesantren. Otoritas kyai yang sangat kuat meinmbulkan tingkatan antara
santri dan kyai. Santri tidak boleh melangkahi kyai. Hal yang demikian
akan membawa dampak tertutupnya kreatifitas santri, meskipun sebetulnya
mobilitas vertikal umat Islam lebih terbuka dibandingkan denga
agama-agama lain.
Tampilnya figur kyai yang demikian tidak
lepas dari kultur yang terbangun di dunia pesantren yang
sentralistik-feodal, semua kebijakan ada di tangan kyai, para pengurus
pondok sebatas eksekutor kebijakan kyai. Berbagai tata tertib dan aturan
dibuat sesuai kehendak kyai tanpa adanya forum musyawarah. Maka tidak
heran bila ada sebutan bahwa kyai adalah raja-raja kecil, dan tidak
jarang bagi yang melanggar aturannya sering kali mendapat hukuman di
luar batas pola pendidikan yang membebaskan.
Akibat Budaya Feodal
Budaya feodal sebenarnya berasal dari negara kolonial Belanda yang diwariskan kepada bangsa Indonesia saat mereka berkuasa.
Budaya feodal digunakan Belanda untuk mengatur daerah jajahannya, dan
cenderung bersifat memaksakan kehendak guna memperoleh kekuasaan.
Konflik
akibat sikap feodal kyai di dunia pesantren berpola sama dengan konflik
perebutan pengaruh umat, yakni sama-sama berusaha melanggengkan
kekuasaannya. Dalam perspektif sistem sosial, bentuk feodalisme kyai
pesantren terbangun atas kultur yang sudah sejak dulu berlangsung
terus-menerus sampai saat ini, dan ditopang juga dengan tidak adanya
sistem suksesi kepemimpinan, karena secara individu kyai berusaha untuk
mempertahankan keberadaannya dengan menjalankan watak feodal dan
individual. Sikap otoriter seorang kyai seringkali muncul ketika ia
menganggap sesuatu yang ada dihadapannya adalah ancaman. Maka ia akan
berusaha untuk menyingkirkan ancaman tersebut melalui sikap otoriternya
tadi.
Perilaku feodal dapat memunculkan konflik yang bermula dari
kepentingan sesama kyai, sesama pengasuh, atau sesama anak kyai dalam
sebuah pesantren. Konflik kian parah ketika mereka mengikutsertakan
santri agar menjadi pengikutnya. Cakupan konflik pun melebar sehingga
antar pengikut saling berseteru. Jika hal ini terus berlanjut maka akan
menimbulkan konflik yang tidak hanya kerugian harta, tapi bisa juga
menelan korban jiwa.
Cara Menghilangkan Budaya Feodalisme di Pesantren
Hal
pertama yang perlu dilakukan adalah menyusun ulang pemahaman tentang
sosok kyai. Perlu dipahami bahwa kyai bukanlah Nabi yang tidak memiliki
salah sedikitpun. Bagaimanapun kyai adalah manusia yang tidak selamanya
perkataan dan perbuatannya benar. Dengan begitu sikap mengkultuskan
sosok kyai pun secara berangsur-angsur berkurang. Namun demikian bukan
berarti menganggap remeh kyai, karena bagaimanapun kyai adalah sosok
yang perlu ditadzimi, akan tetapi jangan terlalu berlebihan.
Kedua,
perlunya forum musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Islam
sendiri menganjurkan umatnya untuk bermusyawarah dalam setiap urusan,
terlebih hal-hal yang menyangkut maslahat orang banyak. Melalui
musyawarah, diharapkan keputusan yang diambil bisa mengakomodir semua
pihak dan tidak ada salah satu golongan atau kelompok yang tidak sepakat
atau merasa dirugikan. Selain itu musyawarah juga dapat dijadikan
sarana pendidikan demokrasi.
Ketiga, menumbuhkembangkan
sikap egaliter. Seorang kyai yang egaliter ternyata lebih disukai santri
ketimbang kyai yang otoriter. Sikap egaliter kyai mampu mendekatkan
dirinya dengan santri. Dengan demikian secara otomatis sikap
kekeluargaan dan kebersamaan pun akhirnya dapat terbentuk.
sinkronisasi dengan ta'lim muta'alim gimana
BalasHapusBandar Togel Terpercaya
BalasHapusSITUS TOGEL TERBAIK
AGEN TOGEL TERBAIK 2021
AGEN TOGEL TERPERCAYA INDONESIA 2021
Masih ragu untuk cari Situs togel online terpercaya?
Mainkan langsung di Agen Togel Terpercaya MBO128
Menyediakan permainan Togel dengan pasaran yang lengkap
Untuk pendaftaran bisa langsung Klik link berikut :
https://mbo128.com/togel
KONTAK :
WhastApp: 0852-2255-5128
Minimal DEPOSIT Rp.25.000
Minimal TARIK DANA Rp.50.000
Transaksi bisa dilakukan melalui Via :
• PULSA ( Telkomsel , XL – Axis ) Bisa isi dari Counter / Transfer Pulsa / Alfamart dan Indomaret TANPA POTONGAN PULSA
• BANK ( BCA, Mandiri, BNI, BRI, Danamon, Permata,Semua Bank Nasional dan Daerah )
• E-Money ( OVO, Dana, LinkAja, PayPro, GoPay)